Sunday, January 21, 2007

Gangguan Stress Pasca Trauma

Oleh Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi.

Gangguan Stres Pasca Trauma merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stres. (Bufka & Barlow, 2006:1)

Berbagai bencana yang menimpa saudara-saudara kita di nusantara, seperti yang disampaikan oleh Aloys Budi Purnomo (Kompas: 29 Juni 2006) “Tak henti hentinya republik ini tertimpa bencana”; Tsunami di Aceh dan Nias; Gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, lalu banjir di Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan, yang menewaskan ratusan orang; di Sidoarjo, rakyat harus mengungsi karena kebanjiran lumpur panas. Oleh karenanya perlu disosialisasikan hal-hal praktis berkaitan dengan Gangguan Stress Pasca Trauma.



Mencari dukungan Sosial

· Melakukan kontak dengan orang lain dapat mengurangi perasaan sedih (distress)

· Anak-anak dan para remaja dapat ketenangan dan hal positif bila dapat berkumpul dengan teman sebayanya

· Kontak hubungan dapat dilakukan dengan anggota keluarga, teman atau dengan sesama korban

Pilihan Dukungan Sosial

· Suami/Istri

· Pacar

· Pendeta, Pastur, Biarawati, Ustad, Ustadzah, Alim Ulama

· Kelompok Relawan

· Anggota keluarga terpercaya

· Dokter atau perawat

· Rekan Kerja

· Teman dekat

· Konselor Krisis

· Hewan Peliharaan



Hal hal yang harus dilakukan

· Berbicara dengan hati-hati

· Memulai pembicaraan mengenai hal yang praktis

· Menanyakan terlebih dahulu apakah ini waktu yang tepat untuk mengajaknya berbicara

· Sudah dipersiapkan hal yang ingin didiskusikan

· Beritahu maksud kehadiran anda apakah anda ingin mengajak berbicara atau hanya sekedar menemaninya

· Beritahu betapa berterima kasihnya anda atas kesediaan untuk mendengarkan

· Pilihlah waktu dan tempat yang tepat

· Bicarakan rasa sakit dan pahit yang menimpanya ketika anda sudah siap

· Tanyakan apa yang anda inginkan atau bagaimana dapat membantunya – suatu hal utama yang dapat membantunya saat ini



Hal hal yang jangan dikerjakan

· Diam saja karena menganggap hanya akan membuat kesal

· Diam karena mengira mereka tidak akan mendengarkan

· Diam karena karena takut menyinggung perasaan

· Hanya menunggu karena ikut stres atau takut tidak dapat membantu



Cara untuk dapat berhubungan

· Hubungi keluarga atau teman dengan telepon

· Ikut terlibat dengan kelompok sukarelawan

· Tingkatkan kontak dengan teman dekat

· Ikut terlibat dalam aktivitas pemulihan

· Bangun /aktifkan kembali kegiatan pengajian-pengajian di masjid/kegiatan ke gereja/pure/klenteng

Memberikan Dukungan Sosial



Anda dapat membantu anggota keluarga dan teman yang mengalami bencana dengan berbagi waktu bersama mereka dan mendengarkan cerita dengan seksama. Banyak orang dapat pulih dengan baik ketika merasa diterima dan dimengerti oleh orang lain. Beberapa memilih untuk tidak banyak menceritakan pengalamannya, dan beberapa mungkin sebaliknya mendiskusikanya sampai berulang kali. Membicarakan kejadian yang terjadi akibat bencana dapat sedikit membantu, bersamaan dengan hal itu, hanya dengan berbagi waktu bersamanya dapat membuatnya merasa dekat dan diterima, walau tanpa berkata-kata dapat merasa lebih baik.

Alasan Mengapa orang akan menolak Dukungan Sosial

· Tidak tahu apa yang mereka inginkan

· Tidak ingin merepotkan orang lain

· Ingin menghindari untuk memikirkan atau merasakan peristiwa traumatis

· Merasa malu atau lemah

· Meragukan bahwa hal tersebut dapat membantunya, atau orang lain tidak dapat mengerti

· Merasa orang lain akan kecewa atau menghakiminya

· Merasa akan kehilangan kontrol diri

· Sudah putus asa mencari bantuan dan merasa sebelumnya tidak ada yang membantu

· Tidak tahu harus minta tolong kepada siapa?

Hal positif yang terjadi bila mendapatkan dukungan Sosial

· Terlihat tertarik, perhatian dan peduli

· Terlihat adanya reaksi hormat pada individu dan mulai mampu menjalani dengan lebih baik

· Dapat berkomentar lebih baik tentang bencana yang sudah terjadi

· Dapat berkomunikasi dengan baik setiap saat

· Dengan berjalanya waktu stres dapat berangsur-angsur pulih

· Diyakini semua orang dapat pulih seperti sedia kala

· Bebas dari penilaian orang lain

· Dapat berdiskusi tentang hal-hal positif yang dapat dilakukan dalam pemulihan

· Dapat diajak berbicara atau berbagi waktu bersama selama diperlukan

Hal-hal yang dapat mengganggu Dukungan Sosial

· Memaksa orang untuk merasa nyaman dan mengatakan bahwa semua itu sudah berlalu

· Menunjukan bahwa orang lain lebih lemah dibandingkan dengan diri anda yang tegar karena dapat menjalani hidup dengan lebih baik

· Hanya membicarakan pengalamannya sendiri tanpa mau mendengar cerita orang lain

· Memberi saran yang tidak tepat karena anda tidak bertanya atau mendengarkanya terlebih dahulu

· Menghentikan pembicaraan sewaktu orang tersebut mengutarakan hal-hal yang mengganggu dirinya

· Mengatakan pada mereka, bahwa mereka termasuk yang beruntung karena selamat

Jika Dukungan Sosial yang diberikan tidak mencukupi..

· Biarkan mereka mengetahui apa yang dikatakan para ahli bahwa menghindar dan menarik diri akan menyebabkan peningkatan kesedihan/ketakutan (distress) dan menyadarkan bahwa dukungan sosial yang diberikan dapat menolong mereka untuk pulih

· Meyakinkan mereka agar mau untuk berkomunikasi dengan konselor, ustad/pendeta, atau dokter/perawat yang menawarkan diri membantu mereka

· Meyakinkan mereka untuk terlibat dalam kelompok yang mendukung satu sama lain yang sama-sama tertimpa bencana

· Pada akhirnya dukungan orang lain dalam lingkungan sosial akan menjadi bagian diri anda yang sangat mendukung satu sama lain.



Sumber utama : National Center for PTSD (2006)

Sumber klik

Labels: ,


Read more!

Fobia Sekolah

Oleh Jacinta F. Rini

Aku nggak mau sekolah....pokoknya enggaaaaak !!! hari ini aku mau ikut Mama ke kantor aja..!

Perutku sakit, Maaaa....aku nggak enak badan...jadi hari ini aku boleh nggak usah masuk sekolah, yaaaa..!

Adek mau main di rumah saja, Ma....please.....Adek takut sama Bu Guru...soalnya Bu Guru galak sekali, Adek takut dimarahi sama Bu Guru.....boleh ya Ma....boleh ya.....

Pokoknya aku nggak mau ke sekolah...aku nggak suka sekolah....aku mau di rumah ajaaaa !!

Kalimat-kalimat diatas mungkin tidak asing di telinga kita ketika menghadapi anak yang tiba-tiba mogok sekolah. Beberapa alasan tersebut memang seringkali dikemukakan oleh anak-anak ketika mereka tidak ingin pergi ke sekolah. Tidak jarang orangtua hanya bisa terdiam dan termenung bahkan bingung ketika mendengar kata-kata tersebut diucapkan oleh anak tercintanya.

Banyak orangtua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orangtua yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan kebingungan apakah alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat. Orangtua menjadi bingung: memaksa anak untuk tetap berangkat sekolah takut nanti anaknya menjadi stress; atau kalau ternyata benar apa yang dikemukakan anak, lantas bagaimana harus bersikap? Sementara itu problem yang hampir sama dialami orangtua yang bingung menghadapi penolakan anaknya yang sudah waktunya bersekolah tapi masih saja belum mau masuk sekolah.

Menghadapi kenyataan dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak di masa yang akan datang. Dalam artikel ini saya mencoba untuk mengulas apa yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau ke sekolah), apa faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati kondisi ini.

Apakah Fobia Sekolah?

Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau hari Minggu / libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya.

Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah

Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu :

1.
Initial school refusal behavior


adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.

2.
Substantial school refusal behavior


adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.

3.
Acute school refusal behavior


adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah

4.
Chronic school refusal behavior


adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.

Tanda-tanda Fobia Sekolah

Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah atau pun school refusal, yaitu:

Menolak untuk berangkat ke sekolah.

Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang

Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum”-nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya.

Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.

Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.

Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.

Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.

Waktu Berlangsungnya Fobia Sekolah

Berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada penanganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering / intens keluhan yang dilontarkan anak. Namun, makin cepat ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1 atau 2 minggu.

Faktor Penyebab

Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah. orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal :

1.
Separation Anxiety


Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.

Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua – singkat kata, tidak ada masalah dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis.

Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.

Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.

2.
Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan


Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.

Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas

3.
Problem Dalam Keluarga


Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.

Penanganan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal.

1.
Tetap menekankan pentingnya bersekolah


Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya.

Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.

2.
Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.

Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.

Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu ditemani/ diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang; dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.

3.
Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter

Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama

4.
Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah

Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru preschool hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.

5.
Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak

Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.

Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

6.
Lepaskan anak secara bertahap

Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.

7.
Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut

Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga – namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya). Untuk itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.

Jadi, persoalan mogok sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius (kecuali ada masalah kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius. Semoga berguna. (jp)

Sumber Klik

Labels: ,


Read more!