Sunday, January 21, 2007

Gangguan Stress Pasca Trauma

Oleh Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi.

Gangguan Stres Pasca Trauma merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stres. (Bufka & Barlow, 2006:1)

Berbagai bencana yang menimpa saudara-saudara kita di nusantara, seperti yang disampaikan oleh Aloys Budi Purnomo (Kompas: 29 Juni 2006) “Tak henti hentinya republik ini tertimpa bencana”; Tsunami di Aceh dan Nias; Gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, lalu banjir di Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan, yang menewaskan ratusan orang; di Sidoarjo, rakyat harus mengungsi karena kebanjiran lumpur panas. Oleh karenanya perlu disosialisasikan hal-hal praktis berkaitan dengan Gangguan Stress Pasca Trauma.



Mencari dukungan Sosial

· Melakukan kontak dengan orang lain dapat mengurangi perasaan sedih (distress)

· Anak-anak dan para remaja dapat ketenangan dan hal positif bila dapat berkumpul dengan teman sebayanya

· Kontak hubungan dapat dilakukan dengan anggota keluarga, teman atau dengan sesama korban

Pilihan Dukungan Sosial

· Suami/Istri

· Pacar

· Pendeta, Pastur, Biarawati, Ustad, Ustadzah, Alim Ulama

· Kelompok Relawan

· Anggota keluarga terpercaya

· Dokter atau perawat

· Rekan Kerja

· Teman dekat

· Konselor Krisis

· Hewan Peliharaan



Hal hal yang harus dilakukan

· Berbicara dengan hati-hati

· Memulai pembicaraan mengenai hal yang praktis

· Menanyakan terlebih dahulu apakah ini waktu yang tepat untuk mengajaknya berbicara

· Sudah dipersiapkan hal yang ingin didiskusikan

· Beritahu maksud kehadiran anda apakah anda ingin mengajak berbicara atau hanya sekedar menemaninya

· Beritahu betapa berterima kasihnya anda atas kesediaan untuk mendengarkan

· Pilihlah waktu dan tempat yang tepat

· Bicarakan rasa sakit dan pahit yang menimpanya ketika anda sudah siap

· Tanyakan apa yang anda inginkan atau bagaimana dapat membantunya – suatu hal utama yang dapat membantunya saat ini



Hal hal yang jangan dikerjakan

· Diam saja karena menganggap hanya akan membuat kesal

· Diam karena mengira mereka tidak akan mendengarkan

· Diam karena karena takut menyinggung perasaan

· Hanya menunggu karena ikut stres atau takut tidak dapat membantu



Cara untuk dapat berhubungan

· Hubungi keluarga atau teman dengan telepon

· Ikut terlibat dengan kelompok sukarelawan

· Tingkatkan kontak dengan teman dekat

· Ikut terlibat dalam aktivitas pemulihan

· Bangun /aktifkan kembali kegiatan pengajian-pengajian di masjid/kegiatan ke gereja/pure/klenteng

Memberikan Dukungan Sosial



Anda dapat membantu anggota keluarga dan teman yang mengalami bencana dengan berbagi waktu bersama mereka dan mendengarkan cerita dengan seksama. Banyak orang dapat pulih dengan baik ketika merasa diterima dan dimengerti oleh orang lain. Beberapa memilih untuk tidak banyak menceritakan pengalamannya, dan beberapa mungkin sebaliknya mendiskusikanya sampai berulang kali. Membicarakan kejadian yang terjadi akibat bencana dapat sedikit membantu, bersamaan dengan hal itu, hanya dengan berbagi waktu bersamanya dapat membuatnya merasa dekat dan diterima, walau tanpa berkata-kata dapat merasa lebih baik.

Alasan Mengapa orang akan menolak Dukungan Sosial

· Tidak tahu apa yang mereka inginkan

· Tidak ingin merepotkan orang lain

· Ingin menghindari untuk memikirkan atau merasakan peristiwa traumatis

· Merasa malu atau lemah

· Meragukan bahwa hal tersebut dapat membantunya, atau orang lain tidak dapat mengerti

· Merasa orang lain akan kecewa atau menghakiminya

· Merasa akan kehilangan kontrol diri

· Sudah putus asa mencari bantuan dan merasa sebelumnya tidak ada yang membantu

· Tidak tahu harus minta tolong kepada siapa?

Hal positif yang terjadi bila mendapatkan dukungan Sosial

· Terlihat tertarik, perhatian dan peduli

· Terlihat adanya reaksi hormat pada individu dan mulai mampu menjalani dengan lebih baik

· Dapat berkomentar lebih baik tentang bencana yang sudah terjadi

· Dapat berkomunikasi dengan baik setiap saat

· Dengan berjalanya waktu stres dapat berangsur-angsur pulih

· Diyakini semua orang dapat pulih seperti sedia kala

· Bebas dari penilaian orang lain

· Dapat berdiskusi tentang hal-hal positif yang dapat dilakukan dalam pemulihan

· Dapat diajak berbicara atau berbagi waktu bersama selama diperlukan

Hal-hal yang dapat mengganggu Dukungan Sosial

· Memaksa orang untuk merasa nyaman dan mengatakan bahwa semua itu sudah berlalu

· Menunjukan bahwa orang lain lebih lemah dibandingkan dengan diri anda yang tegar karena dapat menjalani hidup dengan lebih baik

· Hanya membicarakan pengalamannya sendiri tanpa mau mendengar cerita orang lain

· Memberi saran yang tidak tepat karena anda tidak bertanya atau mendengarkanya terlebih dahulu

· Menghentikan pembicaraan sewaktu orang tersebut mengutarakan hal-hal yang mengganggu dirinya

· Mengatakan pada mereka, bahwa mereka termasuk yang beruntung karena selamat

Jika Dukungan Sosial yang diberikan tidak mencukupi..

· Biarkan mereka mengetahui apa yang dikatakan para ahli bahwa menghindar dan menarik diri akan menyebabkan peningkatan kesedihan/ketakutan (distress) dan menyadarkan bahwa dukungan sosial yang diberikan dapat menolong mereka untuk pulih

· Meyakinkan mereka agar mau untuk berkomunikasi dengan konselor, ustad/pendeta, atau dokter/perawat yang menawarkan diri membantu mereka

· Meyakinkan mereka untuk terlibat dalam kelompok yang mendukung satu sama lain yang sama-sama tertimpa bencana

· Pada akhirnya dukungan orang lain dalam lingkungan sosial akan menjadi bagian diri anda yang sangat mendukung satu sama lain.



Sumber utama : National Center for PTSD (2006)

Sumber klik

Labels: ,


Read more!

Fobia Sekolah

Oleh Jacinta F. Rini

Aku nggak mau sekolah....pokoknya enggaaaaak !!! hari ini aku mau ikut Mama ke kantor aja..!

Perutku sakit, Maaaa....aku nggak enak badan...jadi hari ini aku boleh nggak usah masuk sekolah, yaaaa..!

Adek mau main di rumah saja, Ma....please.....Adek takut sama Bu Guru...soalnya Bu Guru galak sekali, Adek takut dimarahi sama Bu Guru.....boleh ya Ma....boleh ya.....

Pokoknya aku nggak mau ke sekolah...aku nggak suka sekolah....aku mau di rumah ajaaaa !!

Kalimat-kalimat diatas mungkin tidak asing di telinga kita ketika menghadapi anak yang tiba-tiba mogok sekolah. Beberapa alasan tersebut memang seringkali dikemukakan oleh anak-anak ketika mereka tidak ingin pergi ke sekolah. Tidak jarang orangtua hanya bisa terdiam dan termenung bahkan bingung ketika mendengar kata-kata tersebut diucapkan oleh anak tercintanya.

Banyak orangtua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orangtua yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan kebingungan apakah alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat. Orangtua menjadi bingung: memaksa anak untuk tetap berangkat sekolah takut nanti anaknya menjadi stress; atau kalau ternyata benar apa yang dikemukakan anak, lantas bagaimana harus bersikap? Sementara itu problem yang hampir sama dialami orangtua yang bingung menghadapi penolakan anaknya yang sudah waktunya bersekolah tapi masih saja belum mau masuk sekolah.

Menghadapi kenyataan dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak di masa yang akan datang. Dalam artikel ini saya mencoba untuk mengulas apa yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau ke sekolah), apa faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati kondisi ini.

Apakah Fobia Sekolah?

Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau hari Minggu / libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya.

Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah

Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu :

1.
Initial school refusal behavior


adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.

2.
Substantial school refusal behavior


adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.

3.
Acute school refusal behavior


adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah

4.
Chronic school refusal behavior


adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.

Tanda-tanda Fobia Sekolah

Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah atau pun school refusal, yaitu:

Menolak untuk berangkat ke sekolah.

Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang

Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum”-nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya.

Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.

Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.

Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.

Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.

Waktu Berlangsungnya Fobia Sekolah

Berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada penanganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering / intens keluhan yang dilontarkan anak. Namun, makin cepat ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1 atau 2 minggu.

Faktor Penyebab

Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah. orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal :

1.
Separation Anxiety


Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.

Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua – singkat kata, tidak ada masalah dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis.

Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.

Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.

2.
Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan


Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.

Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas

3.
Problem Dalam Keluarga


Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.

Penanganan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal.

1.
Tetap menekankan pentingnya bersekolah


Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya.

Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.

2.
Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.

Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.

Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu ditemani/ diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang; dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.

3.
Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter

Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama

4.
Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah

Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru preschool hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.

5.
Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak

Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.

Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

6.
Lepaskan anak secara bertahap

Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.

7.
Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut

Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga – namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya). Untuk itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.

Jadi, persoalan mogok sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius (kecuali ada masalah kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius. Semoga berguna. (jp)

Sumber Klik

Labels: ,


Read more!

Friday, October 06, 2006

HIMPSI Dan Tatanan Sosial

oleh: I.W. Bagus, S.Psi

Reformasi
Bangsa kita sedang melakukan reformasi yaitu suatu perubahan bentuk dari suatu bentuk yang sifatnya feodal menjadi bentuk yang sifatnya demokratis. Sifat-sifat feodal yang ada ditatanan masyarakat ini misalnya saja, bawahan harus patuh terhadap atasan apapun yang terjadi. Lain hal adalah bahwa peraturan berbasis pada kekuasaan yang artinya rakyat tidak mendapat bagian sama sekali untuk memberikan suara dan apa yang diputuskan harus dijalankan tanpa melihat kenyataan yang ada. Di lain pihak, sifat-sifat demokratis terlihat dari keputusan yang berbasis masyarakat. Masyarakat mempunyai suara dan dapat memberikan masukkan bagi terbentuknya keputusan tersebut dan didasarkan pada logika kemasyarakatan yang objektif dan bertanggungjawab. Segala sesuatunya bersifat transparan. Hubungan penguasa dan rakyat lebih bersifat sebagai mitra dalam membentuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang baik.

Kondisi reformasi dalam kenyataan mempunyai beberapa pengaruh, baik yang positif maupun negatif. Yang positif adalah bahwa segala sesuatu lebih bersifat transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi ekses negatif juga ada, yang lebih dikarenakan masyarakat belum mendapatkan pendidikan/pengetahuan tentang apa itu tingkah laku yang bertanggungjawab. Karena pada kondisi yang demokratis, setiap tingkah laku menpunyai konsekuensi dan tanggungjawab yang harus dipikul oleh setiap anggota masyarakat. Bukan tanggung menjawab alias...pukrul bambu. Atau tanggung tidak menjawab...alias tidak peka.

Himpsi sebagai salah satu organisasi profesi haruslah mengalami reformasi karena Himpsi adalah sebuah komunitas dari “Indonesia kecil”. Sebuah himpunan dari anggota yang sifatnya homogen dalam keprofesiannya tetapi sekaligus heterogen dalam kehidupan masyarakatnya. Sebuah perubahan yang berbasis masyarakat dalam Himpsi merupakan salah satu kontribusi yang besar bagi terciptanya Indonesia yang memiliki tatanan sosial yang baik serta berorientasi kepada anggota dan masyarakat luas.

Apa itu Organisasi Profesi ?

Organisasi profesi adalah organisasi yang bertumpu pada profesionalitas. Organisasi profesi yang baik harus transparan, mandiri dan secara terus menerus bertanggung jawab dalam mengembangkan potensi anggota-anggotanya dalam memberikan jasa pada masyarakat, serta menstimulasi pengembangan masyarakat dengan ilmu psikologi.
Organisasi profesi terbentuk karena adanya kebutuhan anggotanya untuk dapat mengeksiskan diri dalam masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berjati diri dan bermartabat, maka sudah barang tentu sebuah organisasi profesi harus berfokus pada bagaimana cara memfasilitasi anggota-anggotanya untuk dapat eksis di masyarakat. Kita tahu bahwa dengan kondisi saat ini, kita harus menjadi anggota masyarakat yang kritis, proaktif dan cepat tanggap dengan kondisi sekitar agar tidak terhantam oleh globalisasi dan kalah dalam percaturan keilmuan / keprofesian di tingkat internasional. Kita harus mampu dengan segala kekurangan dan kelebihan untuk tetap diakui di negara kita sendiri. Hal ini tidak mungkin dapat terwujud bila tidak didukung oleh organisasi profesi yang ‘cerdas’ dan ‘inovatif’.

Himpsi adalah sebuah organisasi profesi bagi mereka yang lulus mempelajari Psikologi. Sebuah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia baik yang tersirat maupun tersurat. Psikologi merupakan ilmu yang secara hireraki menjadi ilmu yang sifatnya panutan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku.
Karena sifat dari ilmu psikologi ini, maka masyarakat mempunyai harapan yang lebih terhadap para lulusan psikologi ini untuk memberikan panutan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Adalah sangat ironis, bila seorang lulusan psikologi tidak mencerminkan keilmuannya pada saat berhubungan dengan orang lain. Misalnya ada lulusan psikologi yang melakukan kebohongan publik padahal mereka belajar betul apa itu perkembangan moral dan tahap-tahapannya. Ada anggota yang tidak mau bayar iuran apalagi bila dia pengurus, padahal dia tahu betul setiap anggota wajib membayar iuran apapun posisinya di organisasi tersebut. Ada pula anggota yang hanya membayar pada kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya bila akan kongres atau muswil. Sikap-sikap yang egois dan feodal inilah yang harus dihilangkan dari Himpsi.

Himpsi sebagai organisasi profesi fokus utamanya adalah anggota. Maka anggota adalah pusat dari segala kebijakan, aturan dan aktivitas keorganisasian. Kebutuhan anggota untuk dapat eksis di masyarakat inilah yang menjadi patokan sebagai haluan organisasi. Tidak mungkin sebuah kebijakan dikeluarkan tanpa persetujuan ‘an sich’ dari para anggotanya karena bila hal ini terjadi maka anggota akan protes dan tidak akan mau menjalankannya. Yang paling drastis adalah anggota akan meninggalkan organisasi profesinya untuk berkiprah sendiri atau yang lebih ekstrim membuat kumpulan sendiri. Bila sampai hal ini terjadi maka berarti Himpsi sudah GAGAL untuk menjadi wadah yang bermanfaat bagi anggotanya....ini yang menyedihkan.

Himpsi dan Tanggung Jawab Sosial dalam Masyarakat

Dari beberapa titik pandang di atas, dapat disimpulkan bahwa Himpsi sebagai Himpunan Psikologi Indonesia mempunyai tugas yang berat yaitu menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dengan memberikan kontribusi dari keilmuannya dalam bertingkah laku yang benar dan bertanggungjawab dalam rangka membentuk masyarakat yang berharkat dan bermartabat dan hal ini hanya dapat dilakukan bila Himpsi dalam hal ini anggota dan pengurusnya saling memberikan tauladan yang baik.

Baik anggota maupun pengurus harus mempunyai satu tujuan yaitu menjadi anggota masyarakat yang bermartabat dan dapat menjadi panutan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat atau dengan kata lain Himpsi harus mempunyai tanggung jawab sosial dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat akan melihat Himpsi dengan “sebelah mata” bila Himpsi tidak dapat berbuat sesuai dengan perannya di masyarakat yaitu sebagai panutan dalam bertingkah laku yang bertanggungjawab.

Perubahan Orientasi

Sebuah perubahan besar-besaran harus dilakukan dalam tubuh Himpsi. Mampukah kita sebagai anggota melakukan perubahan ini? Mampukah kita sebagai pengurus melakukan perubahan ini? Jawabannya adalah harus mampu. Ketika kita dalam memberikan konseling bagi klien, kita memberikan keyakinan kepada mereka untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri, maka kita pun harus dapat memberikan keyakinan pada diri kita sendiri bahwa kita mampu melakukan perubahan ini...bagaimanapun berat dan pahitnya perubahan ini.

Tidak mampu berubah? Takut berubah? Tidak yakin?...seperti dalam buku “Who Moves my Cheese?” sebuah ‘bestseller’ yang lebih dari 5 tahun lalu diterbitkan....apakah Himpsi berpikir untuk diam ditempat dan saling menyalahkan atau ubah semua dan lakukan sesuatu untuk menjadi ‘sesuatu’ di masa datang...... Kita yang menentukan....kita yang menentukan....

Tapi apa yang harus dirubah? Tatacara sistem organisasi Himpsi
Siapa yang harus dirubah atau berubah? Kita semua.
Anggota – lebih arif dalam memberikan kritik dan saran, bila tidak setuju berikan masukkan yang logis dan mengarah pada masalah sesuai dengan kadarnya. Tidak asal protes tapi tidak juga memberikan masukkan yang baik.
Pengurus – Komunikasi tentang kebijakan secara terbuka dan jujur perlu ditingkatkan. Pengurus harus sedemikian rupa berbasis pada anggota dalam tiap keputusannya atau dengan kata lain mementingkan anggota daripada dirinya sendiri. Sistem keadministrasian diperbaiki untuk memudahkan kontrol dan memudahkan akses bagi anggota.
Sistem organisasi - fokus adalah pada anggota dan bukan pada figur pengurus. Kebijakan yang dibuat adalah untuk mensejahterakan anggota serta mempermudah anggota dalam berkiprah di keprofesiannya. Sistem-sistem yang kurang bermanfaat bagi anggota dirubah menjadi bermanfaat untuk anggota dalam arti yang sebenarnya.
Struktur organisasi – dibuat ramping dan diperbanyak departemen yang kompeten dalam menangani kebutuhan anggota dan masyarakat.

Jakarta, 25 Maret 2005

Sumber : http://himpsijaya.org

Read more!

Slamet Iman Santoso (1907-2004) Bapak Psikologi Indonesia

Profesor emeritus Fakultas Psikologi UI yang meninggal dalam usia 97 tahun, Selasa 9 November 2004 dini hari pukul 00.30, ini tidak saja perintis dan pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tetapi juga perintis studi psikologi di Indonesia. Patutlah dia digelari Bapak Psikologi Indonesia. Psikiater kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907, ini juga ikut mendirikan beberapa universitas.Pria yang senang berpakaian putih-putih ini dikenal jujur, jernih, tegas dan konsisten. Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Penerima Bintang Mahaputra Utama III (1973) ini, menurut puteranya Dr Oerip Setiono, meninggal setelah tiga tahun terakhir terbaring di rumah kediamannya, Jl Cimandiri 26, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan di TPU Menteng Pulo setelah sebelumnya disemayamkan di aula FKUI Salemba, Jakarta. Dia meninggalkan tujuh anak, 13 cucu dan delapan buyut. Isterinya, Suprapti Sutejo, sudah terlebih dahulu meninggal pada November 1983.Penerima penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional dari IKIP Jakarta (UNJ) pada tahun 1978, ini selain sebagai perintis dan pendiri Fakultas Psikologi UI juga ikut mendirikan Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin. Motivasi mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938), ini merintis dan mendirikan fakultas psikologi, karena sebagai psikiater menemukan banyak masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh psikiater. Dalam bidang profesi kedokteran, dia menerima penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989. Sebagai seorang ahli psikologi, tahun 1961, dia memimpin sekitar lima puluh mahasiswa Fakultas Psikologi UI, mengunjungi penduduk yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan dan dipindahkan ke daerah Tebet dan Penjaringan. Mereka berdialog dengan penduduk tergusur itu. Kunjungan ini, menjadi awal pogram mahasiswa turun ke lapangan (masyarakat).Bidang studi psikologi pun makin menarik perhatian banyak orang. Masa-masa psikologi mengalami kesulitan (saat psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), seperti sudah terlupakan. Saat itu, kata Slamet dalam pidato ketika menerima penghargaan bintang jasa Mahaputra Utama III (1973), dia merasa ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini. Conny Semiawan, mantan rektor IKIP Jakarta yang juga murid dan sempat menjadi asisten Slamet Iman dalam menguji mahasiswa, mengenang Slamet sebagai orang yang sangat tertib, teliti dan juga memiliki wawasan yang sangat luas, selalu berfikir filosofis meskipun bukan ahli filsafat. Dalam menguji mahasiswa, Slamet selalu menegaskan jangan menanyakan apa yang kamu ketahui, tetapi usahakan untuk bertanya apa yang dipahami mahasiswa. Dengan demikian dialog akan terjadi dan mahasiswa dapat mengaktualisasikan dirinya.Menurut Conny Semiawan, Slamet adalah tokoh pendidikan yang berani. Dia adalah orang pertama mengusulkan perlunya satu standar bagi semua jenjang pendidikan di Indonesia. Usul yang dia lontarkan sepanjang tahun 1979-1981 ini membuat heboh dunia pendidikan. Dia juga orang yang mengkritik keras minimnya gaji guru yang dia sebut dapat merusak dunia pendidikan. Dia membandingkan gaji guru jaman Belanda yang dua kali lipat daripada gaji dokter. Sehingga guru tak perlu mencari tambahan dan dunia pendidikan tidak dicampurbaurkan dengan bisnis.Dia juga mempunyai andil besar dalam merintis program penerimaan mahasiswa melalui UMPTN. Ketika itu (1979-1980), Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Saat itu terjadi booming lulusan SMA yang ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sebagai contoh, UI yang kapasitasnya sekitar 800 mahasiswa tapi jumlah pendaftar 4000 orang. Maka melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu sistempenerimaan calon mahasiswa yang sejak 1979 sudah berlangsung dengan nama yang sekian kali berubah mulai dari Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pria yang dikenal terus terang dan sempat menjadi Penjabat Rektor UI, ini meskipun sudah mengakhiri jabatan sebagai Ketua Komisi Pembaruan Sistem Pendidikan, 1980, ia masih sempat mengurusi penerimaan calon mahasiswa pada tahun 1981. Sudah sangat banyak tokoh pendidikan bekas murid Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1950-1953) serta mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini. Di antaranya, Conny Semiawan, Fuad Hassan, Sujudi, Wardiman Djojonegoro, Mahar Mardjono dan Saparinah Sadli. Para mantan mahasiswanya ini sangat menghormati dan mengagumi gurunya ini. Mereka mengenangnya sebagai guru yang sangat akrab dan suka menularkan pengalaman. Salah satu ucapannya dalam acara peringatan 100 tahun Albert Einstein di ruang Rektorat UI, 1979: ''Ciri orang pandai, hal yang ruwet bisa disederhanakan, sebaliknya orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana.'' Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968-1973), ini juga penulis terkemuka. Dia sering menulis kolom di berbagai media dan juga menulis buku. Di antara bukunya yang terkenal adalah Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in Indonesia; Psychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan; dan Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, 1987. Sebagai dokter ahli penyakit saraf dan jiwa, dia memasang iklan menutup praktek untuk selamanya, 1 Januari 1979. Dia menyadari dirinya sudah tua. Dia pun mengaku sudah capek. Lahir TerbungkusPemberian namanya, Slamet Iman santoso, terkait dengan proses kelahirannya. Dia dilahirkan dalam keadaan terbungkus ari-ari. Ketika itu, semua penduduk desa heran dan membicarakannya. Dia dianggap sebagai bayi ajaib. Dipercaya bayi yang lahir terbungkus ari-ari itu kelak akan mempunyai kelebihan. Sangat jarang kelahiran bayi terbungkus.Saat bayi terbungkus itu lahir, orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya: "Mana bayinya, mana bayinya?" Untunglah tidak semua penduduk desa panic terheran-heran. Seorang tetangga, Nyonya Tambi, isteri seorang petani Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang membungkusnya. Bayi itupun menangis dan lahir dengan selamat. Maka kata selamat (menjadi Slamet) dijadikan nama jabang bayi yang baru lahir itu. Dia memang terlahir dari keluarga berpendidikan pada zamannya. Ayahnya seorang Asisten Wedana Banjaran. Di bawah pengasuhan ayahnya, Slamet menikmati masa kecilnya dengan penanaman nilai-nilai keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong. Dia pun berulangkali, kepada banyak orang, mengisahkan berbagai pengalaman masa kecil yang yang amat berkesan baginya. Salah satu pengalaman itu adalah ketika di suatu saat dia dan anak lain sedang sibuk mencari ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya. Eh, tiba-tiba Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi. Namun dia beruntung, karena anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga dia tertolong. Dia dan kawan-kawanya menceriterakan peristiwa itu kepada Ayah-Ibu Slamet. Sang Ayah dengan spontan mengharuskannya memberi makan si Macan (nama anjing tadi Pak Lurah) itu. Masa kecil dan remaja anak sulung dari dua bersaudara ini sangat bahagia. Ia ikut kakeknya di Magelang, Jawa Tengah. Saking nakalnya, dia dijuluki teman-temannya 'setan alas'. ''Saya senang main ketapel, berburu anjing dan burung,'' katanya, sebagaimana dikutip dalam Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Bahkan mengaku sekali-kali mengganggu orang. Namun masa kecil dan remajanya diisi dengan mengecap pendidikan pada jaman kolonial Belanda di Magelang, mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsche School (HIS (1912-1920) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO (1920-1923). Kemudian melanjut ke MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); dan Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934).Dia pun terkesan sangat mengagungkan pendidikan masa kolonial Belanda itu. Walaupun dia menyadari kondisi pendidikan ketika itu sangat berbeda disbanding setelah Indonesia merdeka. Dia mengenang, pada zamannya bersekolah dulu, sangat diasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan murid dan bersatu dengan orang tua murid. Hal yang sudah jarang terjadi saat ini. Masuknya Jepang, menurutnya, memberi andil atas awut-awutannya pendidikan di negeri ini. Terasa sekali suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrabnya hubungan orang tua-murid-guru, tiba-tiba hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang yang mulai awut-awutan. Ironisnya, kondisi ini terus berlangsung sampai sekarang. Dia memberi beberapa bukti. Di antaranya, sekarang ada guru yang mengasih tahu bahan ujian yang akan diuji kepada murid.AbumawasProfesor emeritus Fakultas Psikologi UI ini juga dikenal sebagi tokoh yang jahil dan sering dinilai aneh. Dia sendiri mengibaratkan diri sebagai Abunawas. Karena, menurutnya, Abunawas itu tokoh penuh akal. Jiwa Abunawas itu pun banyak menyemangati hidupnya.Dalam buku, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, diceritakan sekali waktu dia melihat mobil seorang pejabat UI diparkir salah dengan posisi miring di halaman kampus UI. Ia mengambil kertas dan menulisnya dengan spidol: "Barangsiapa yang parkir mobil miring, otaknya juga miring". Ketika Bung Karno menanyakan pendapatnya mengenai semboyan "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit", Slamet dengan tenang menjawab "Nggak, malah saya gantungkan di cantelan baju. Kalau usang kan bisa diganti."Suatu ketika, dia menyatakan terheran-heran karena ada orang yang dipinjami buku, mengembalikan buku itu dengan utuh. "Baru sekarang saya temukan orang yang saya pinjami buku mengembalikannya dengan utuh," katanya. Dia bilang, hanya orang bodoh yang meminjamkan buku kepada orang lain, dan orang yang mengembalikan buku pinjaman pun adalah orang gila.Hidupnya yang selalu ceria diwarnai canda memberi andil besar atas usianya yang lanjut (97 tahun). Padahal dia tak senang olah raga, termasuk olah raga pagi. Becanda, dia bilang: ''Pagi-pagi itu 'kan hawanya segar. Kok dipakai buat berkeringat, lebih baik dipakai untuk tidur.''

Sumber : www.tokohindonesia.com

Read more!

PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [1]:

Pengategorian Status Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Oleh: Audifax[1]

Di Indonesia, ranah psikologi tampaknya dibedakan bagi dua jenis mahluk, yaitu Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Pembagian ini, seolah menyiratkan kasta kemampuan. Lantas menjadi tidak relevan ketika kasta itu dikaitkan dengan praktikalitas yang diistilahkan sebagai praktik psikologi, karena ketika dirunut pada aturannya, pembagian itu sama sekali tak mengarakterisasi, apalagi mencerminkan perbedaan kualitas kemampuan. Ada sesuatu yang luput dari cermatan di sini, bahwa di tengah percepatan perkembangan dunia beserta kultur di masyarakat, segala bentuk hirarki, sentralisasi, kategori justru akan mematikan. Diakui atau tidak, saat ini masyarakat justru secara radikal melepaskan diri dari keterpusatan dan menyebar, mengindividu, mendiferensiasi. Jika dulu konsumsi cenderung mass consumption dan oleh karenanya menjadi masuk akal mass production (yang memungkin adanya hirarki, sentralisasi, kategori) saat ini pemasaran justru masuk ke ceruk-ceruk pasar (niche). Inilah yang agaknya tak tertangkap oleh siapapun yang mengategorikan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan terlebih dahulu kutipan dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan dengan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting berkaitan dengan pembedaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK BERHAK DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI DI INDONESIA[2].
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai ketentuan yang berlaku[3].
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS, KONSELING, dan PSIKOTERAPI[4].
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas, terutama berkaitan dengan pembagian “jatah” antara Ilmuwan Psikologi dan Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat pembagian itu pada bidang kedokteran, menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?
Dalam analisis saya, pembagian tersebut lebih merupakan upaya memapankan kelompok tertentu karena sebenarnya tidak terlihat alur logika bahwa psikolog lebih tinggi kemampuannya dibanding ilmuwan psikologi sehingga patut diberi wewenang lebih. Bagaimana misalnya peraturan itu bisa menjelaskan kompetensi ‘ilmuwan psikologi’ seperti Andrias Harefa yang dalam training-training dan tulisan-tulisannya, sangat dekat dengan psikologi pendidikan dan industri/organisasi; Frans Mardi Hartanto, yang tidak bisa masuk Himpsi (karena S-1 nya Teknik) tapi justru diakui di asosiasi psikologi luar negeri seperti APA (American Psychological Association); atau Goenawan Muhammad dengan tulisan dan analisisnya yang tajam; bagaimana pula dengan tayangan-tayangan interaktif seperti Dunia Lain, Pemburu Hantu dan sejenisnya? Bahkan seorang Deddy Corbuz! ier atau Romy Rafael pun menunjukkan tingkat kepiawaian yang luar biasa dalam bidang psikologi. Bukankah apa yang mereka lakukan juga mengandung unsur diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi[5]? Apakah peraturan dalam Kode Etik Psikologi itu lantas bisa melegitimasi dan menempatkan para psikolog pada posisi yang lebih dari nama-nama di atas? Apakah peraturan itu l! antas bisa menafikkan begitu saja kenyataan bahwa para “klien” benar-benar merasakan manfaat dari nama-nama itu? (bahkan maaf, mungkin para klien inipun lebih percaya pada nama-nama itu dibanding psikolog bersertifikat yang baru saja lulus program profesi dan belum pernah menangani kasus riil satupun).
Apa yang bisa kita tangkap di sini? Masyarakat sudah tak percaya lagi pada narasi-narasi besar dan masuk pada narasi-narasi kecil yang berdasarkan pengalaman. Inilah titik krusial yang terkesan menjadi kelemahan dari pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog beserta segala wewenangnya. Masalah wewenang itu sendiri, kemudian justru menjadi sangat lemah karena bagaimanapun, untuk masalah penggunaan ‘jasa psikologi’; fakta di lapangan yang membuktikan, bukan legitimasi dari otoritas. Psikologi, saya coba ingatkan lagi akar katanya; yaitu ilmu (logos) tentang jiwa (psike). Saya rasa ilmuwan-ilmuwan psikologi yang saya sebutkan tadi telah menunjukkan suatu langkah berani dalam bermain-main dengan psike; namun jangan lupa, mereka juga menunjukkan kepiawaian yang tinggi dalam pemahaman, penguasaan psike. Ya, inilah yang justru men! jadi kelemahan Psikolog yang memahami psike hanya sebatas apa yang dijelaskan dalam manual-manual interpretasi alat tes. Sementara mereka sendiri mungkin tak pernah menyadari seberapa akurat alat tes tersebut mengungkap psike.
Ini persis seperti yang dijelaskan oleh Jean Francois-Lyotard mengenai keruntuhan narasi-narasi besar dan munculnya narasi-narasi kecil. Imbas dari spirit di jaman posmodernisme. Pada jaman ini, kode etik adalah sebuah narasi besar yang memiliki potensi untuk berbenturan dan diruntuhkan oleh narasi-narasi kecil yang berbasis pengalaman riil.
Kode etik yang membedakan wewenang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini akan makin terasa kontradiksinya (sekaligus kelemahannya) dengan mencermati bunyi pasal 9:
Asas kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian jasa/praktik psikologi[6].
Bagaimana jika klien menolak seorang psikolog dan minta dilayani oleh Ilmuwan Psikologi, termasuk dalam hal prognosis, diagnosis, konseling, dan psikoterapi? Pasal yang membagi Ilmuwan psikologi/Psikolog dan pasal mengenai asas kesediaan yang terkesan kontradiktif ini terlihat menafikkan kemungkinan bahwa klien bisa jadi akan memilih Ilmuwan Psikologi ketimbang Psikolog. Seolah, klien sudah pasti merasa puas kalau yang melayani Psikolog dan memiliki kemungkinan tidak puas kalau yang menangani Ilmuwan Psikologi. Sebuah legitimasi yang terkesan hegemonik. Ini akan makin jelas terasa ketika kita memperhatikan penjelasan pasal 9 pada Bab Pedoman Pelaksanaan. Jika kita tak cermat dalam melihat pasal-pasal itu berikut implikasinya; maka kita akan masuk begitu saja dalam sebuah lingkaran kekuasaan.
Saya mencoba menghadirkan pembahasan mengenai kuasa dalam pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini. Salah satu tokoh yang lantang berbicara mengenai kekuasaan adalah Michel Foucault, yang mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna “kepemilikan”, atau keadaan di mana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam[7]. Dalam hal ini, HIMPSI adalah bagian dari sebuah institusi kekuasaan yang bertugas untuk memapankan kelompok orang-orang tertentu, terutama dari kemungkinan terlindas oleh persaingan dari orang-orang di luar kelompok tersebut.
Menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada di mana-mana; tetapi bukan berarti mencakup semua; melainkan kekuasaan datang dari mana-mana. Begitu merasuknya kekuasaan dalam kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain. Kita dapat secara lebih cermat melihat pada fenomena pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini.
Selain Foucault, saya akan coba menghadirkan pemikiran Pierre Bourdieu, yang menjelaskan kekuasaan dari sisi-sisi tertentu yang belum terjelaskan oleh pemikiran Foucault. Menurut Bourdieu, konsep kekuasaan selalu berada dan beroperasi pada suatu arena (field). Dalam arena tersebut, terdapat pelaku-pelaku yang memiliki modal, baik itu ekonomik, simbolik, maupun kultural. Predikat sebagai Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog adalah modal simbolik. Modal inilah yang menentukan siapa pada posisi ordinat dan siapa berada di posisi sub-ordinat. Dalam pola kepemilikan modal di arena psikologi ini, jelas Ilmuwan Psikologi berada di posisi sub-ordinat dan psikolog berada pada posisi ordinat. Padahal penguasaan modal itu sendiri, sama sekali tak ada hubungannya dengan tinggi-rendahnya kualitas penguasaan psikologi. Namun, bisa jadi tak ban! yak orang yang secara cermat menyadari ini.
Modal simbolik adalah suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, sehingga menghasilkan efek yang tepat sepanjang dan hanya sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk modal ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya, sumber-sumber efeknya juga[9]. Sistem-sistem simbolik merupakan instrumen pengetahuan dan dominasi, yang memungkinkan terjadinya sebuah konsensus di dalam suatu komunitas yang terkait dengan signifikansi dunia sosial; sistem ini juga memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan sosial[10]. Inilah kunci yang per! tama kali harus dipahami oleh orang-orang yang ingin menggugat kekuasaan. Konsensus yang menempatkan pihak dalam suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, kerap beroperasi secara halus sehingga tak disadari sama sekali oleh anggota komunitas. Bahkan bisa jadi konsensus ini telah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun.
Kita dapat melihat bahwa mahasiswa yang menekuni keilmuan psikologi, berada dalam rantai kekuasaan ini. Kekuasaan yang dibangun melalui berbagai nilai yang ditradisi oleh institusi, serta dimainkan melalui retorika pengetahuan. Kekuasaan ini tak hanya terjadi pada suatu masa, tetapi juga antar masa. Kekuasaan bahkan mungkin hidup turun temurun. Seorang mahasiswa belajar psikologi agar kelak dapat digunakan untuk menguasai orang lain, namun dirinya juga terkuasai oleh para dosen atau institusi fakultas melalui berbagai eksploitasi yang dilakukannya. Secara lebih luas, operasi kekuasaan seperti ini juga tampak pada mereka yang percaya begitu saja pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas terhadap kebenaran suatu pengetahuan, seperti agama, orang tua, aparat penegak kebenaran, dan lain-lain. Orang sudah kehilangan kebebasannya sebagai manusia ketika berhadapan deng! an pemegang-pemegang kebenaran itu. Intinya bukan pada adanya pihak yang mendominasi dan terdominasi, karena hanya ada satu pihak yaitu yang terdominasi. Kekuasaan terjadi ketika tidak adanya kesadaran diri telah terkuasai dan ketidakjelian melihat pihak yang diuntungkan dalam situasi itu.
Bourdieu melihat bahwa kekuasaan tak lepas dari habitus yang memiliki keterhubungan erat dengan ‘modal’. Sebagian habitus itu berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan sebentuk modal (simbolik) di dalam dan dari mereka sendiri[11]. Habitus adalah konsep kunci yang digunakan Bourdieu untuk tidak terjebak dalam oposisi antara struktur dan agen. Istilah habitus sendiri, sulit didefinisikan secara tepat dan memiliki intensi keragaman makna. Namun, justru di situlah kekuatan habitus dalam menjelaskan dunia keseharian (ordinary world). Bourdieu melihat relasi antara individu dan dunia sosial orang di luar individu sebagai suatu mutual possesion (“the body is in the social world but the social world is in the body” - Bourdieu, 1982). Di sini habitus secara mendasar merujuk pada menyatunya sensibilitas yang membuat masuk akal suatu perilaku terstruktur sekaligus mengalami improvisasi. Sebagai analog! i, gambaran ini mirip dengan musisi yang melakukan “jam session” [12].
Pandangan yang menurut saya dapat melengkapi hadir pada pemikiran Foucault ketika ia mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan[13]. Hubungan dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Kita dapat merujuk pada munculnya kekuasaan dalam institusi agama yang melarang pernikahan antar agama. Ini bisa terjadi hanya ketika kita menempatkan adanya perbedaan dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi suatu pembedaan antara ilmuwan psikologi dan psikolog yang dilegitimasi melalui peraturan dan bukan kenyataan kompetensi di lapangan. Ketika terjadi suatu situasi di mana seorang pengguna sebenarnya lebih cocok dengan Ilmuwan Psikologi, namun di sisi lain ia bimbang atau kesulitan menggunakan jasa Ilmuwan Psikologi karena alas! an legitimasi, maka pada posisi ini jelas Psikolog diuntungkan oleh legitimasi. Win by rule, not competition; legitimate by symbol not competency!
Ini menunjukkan bahwa sebuah kelas menjadi dominan dan mampu meyakinkan dominasinya pada suatu masyarakat, karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Dominasi, dengan demikian bukan merupakan efek dari sejumlah taktik prarencana aktual yang beroperasi dengan strategi-strategi untuk meyakinkan dominasinya; karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Namun, di antara strategi-strategi yang membaur, mereproduksi, menggandakan, dan menonjolkan relasi-relasi kekuatan yang ada, dan kelas yang kemudian menyadari bahwa dirinya dalam posisi memerintah, terdapat suatu relasi produksi yang timbal balik[14]. Dalam konteks psikologi, kekuasaan sebenarnya beroperasi pada titik-titik seperti: Himpsi, Institusi Pendidikan, klien hingga mereka yang memperoleh “modal simbolik” dari pengategorian Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Ketika para pelaku psikologi atau pengguna menerima dan memercayai segala sesuatu “begitu saja”, maka seketika itulah rantai kekuasaan beroperasi.
Menurut Bourdieu, ini bisa terjadi karena setiap masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama[15]. Psikologi Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari pelaku dan pengguna. Pihak-pihak tertentu yang memiliki penguasaan modal (baik ekonomik, simbolik, maupun kultural) tampaknya berusaha mengonstruksi suatu struktur tertentu untuk menutupi realitas.
Pada titik ini, bisa dicermati adanya kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan menyembunyikan diri melalui budaya. Kelompok terdominasi adalah kumpulan individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.
Kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan: psikologi, sosiologi, ekonomi, kriminologi, dan jurnalisme. Semua ranah pemahaman tersebut memproduksi hasil tertentu dan menghasilkan kriteria keilmiahan yang kemudian menjadi ukuran kebenaran, sehingga pada gilirannya membentuk dan menguasai individu. Dengan psikologinya, seorang psikolog bisa mendefinisikan seseorang sebagai sosok matang, kekanak-kanakkan, menyimpang, abnormal, dll. Padahal, tidak semua hal bisa dijelaskan oleh psikologi. Lebih ironis lagi jika kita temukan kenyataan bahwa tidak semua psikolog mengerti psikologi. Keadaan menjadi bertambah runyam ketika orang-orang yang tidak mengerti psikologi ini malang melintang menilai, menginterpretasi dan mengategorikan orang. Silang sengkarut ini tampak dari perubahan pengategorian manusia dalam psikologi. Dalam studi Foucault misalnya, ditemukan bahwa orang g! ila mengalami pergeseran kategori dari “orang tak bermoral” menjadi “orang yang mengalami gangguan jiwa”. Kita juga dapat mencermati bahwa sekian tahun lalu gay digolongkan sebagai abnormal, sementara sekarang gay digolongkan sama normalnya dengan mereka yang heteroseksual. Lantas, dari sini kita bisa menarik sesuatu. Seberapa benar sebuah pengategorian? Bagaimana implikasinya bagi kemanusiawian? Apa tanggung jawab yang bisa diberikan pada mereka yang dulu terlanjur dikategorikan tak normal? Apakah pernah memperhitungkan perlakuan masyarakat terhadap seseorang yang dikategorikan tak normal? Lalu apa kenormalan itu? Bagaimana orang-orang yang mengategorikan normal-tak normal itu berbicara mengenai kenormalan dirinya di hdapan figur-figur seperti: Beethoven, Einstein, Leonardo Da Vinci, Michelangelo atau Nietszche? Kekacauan pengategorian sebenarnya terjadi ketika orang percaya begitu saja pada sesuatu atau menempatkannya sebagai dogma. Sejarah membuktikan itu ketika gereja pernah menganggap bahwa bumi ini flat dan menghukum mereka yang berpendapat bahwa bumi ini bulat.
Bagaimana beroperasinya kekuasaan, sehingga sesuatu bisa diterima “begitu saja” atau ditempatkan sebagai dogma? Bagi Foucault, kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu! [16]. Gereja yang mengatak bahwa bumi flat,memiliki kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri ditempatkan sebagai sesuatu yang bernilai keagungan sehingga memiliki kuasa. Hal yang sama sebenarnya terjadi dalam pengategorian Ilmuwan Psik! ologi dan Psikolog.
Kekuasaan manifest dalam Habitus yang merepresentasikan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan suatu ‘prisma kemungkinan persepsi’, yang menempatkan bermacam-macam disposisi sosial yang, menurut logika utamanya, memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial[17]. Habitus sebagai suatu bangunan disposisi bersama, kategori-kategori klasifikasi dan skema-skema generatif, jika tak ada lagi yang lain, merupakan sejarah kolektif yang dialami sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-granted), kebutuhan aksiomatik terhadap realitas objektif[18]. Inilah sebabnya tak banyak orang bisa melihat kekuasaan, bahkan orang kerap tak menyadari bahwa dirinya sudah jatuh dalam jejaring kekuasaan.
Kekuasaan baru bisa dilihat ketika ada kesadaran akan akibat dari posisi yang didominasi. Foucault memberi ilustrasi psikiatri yang mendefinisikan konsepsi modern tantang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktik penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktik-praktik baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau adanya pengasingan untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi. Mereka yang dianggap menderita alienasi mental tidak bisa lagi tinggal di keluarga. Dalam kasus seperti ini, sulit untuk menunjuk siapakah yang mengakibatkan posisi pengasingan itu. Siapa yang terlibat di dalamnya? Tidak hanya psikiater, namun juga ilmu kedokteran, penguasa politik, pandangan masyarakat, kenyamanan hidup keluarga, hubungan politik dan ilmu.
Kekuasaan pada banyak hal sebenarnya bertujuan untuk menghindari ketakstabilan posisi atau ancaman yang datang untuk menggoyang suatu posisi. Jika anda adalah seorang Psikolog dan memiliki lisensi beserta konsekuensi hak yang terberikan sesuai kode etik psikologi bikinan Himpsi itu, maka posisi anda dalam “rimba psikologi Indionesia” akan termapankan dan tak perlu takut oleh ancaman dari “pendekar-pendekar” yang tak memiliki lisensi. Sementara, para “pendekar-pendekar” itu, tak selalu sepaham dengan Himpsi, terutama berkaitan dengan tata cara dan penggunaan alat yang menurut Himpsi sudah dibakukan. Sementara di sisi lain, Masyarakat, yang dalam hal ini banyak bertindak sebagai pengguna atau klien bisa jadi hanya akan melihat dan memercayai begitu saja mereka yang memegang lisensi. Tak peduli seberapa kemampuan mereka dan bagaimana sejarah perolehan lisensi itu. Di sini! lah bahaya implikasi kekuasan itu. Pernahkah terpikir untuk memberi kompensasi pada para gay yang dulu pernah dikategorikan tidak normal? Pernahkah terpikir bagaimana perlakuan masyarakat ketika mereka dikategorikan tak normal? Ini tak hanya terjadi pada kasus gay, namun juga siswa-siswi yang setiap awal tahun ajaran diharuskan mengikuti psikotes. Sementara, jika dicermati banyak sekali kelemahan dari sebuah psikotes karena validasinya yang tak pernah diungkapkan secara jelas. Pun ke-”aus”-an akurasi karena ketidakmampuan tes itu mengantisipasi percepatan perkembangan jaman, luput dari cermatan.
Di sinilah saya bisa melihat bahwa dalam banyak hal, berbagai peraturan, atau kode etik itu sebenarnya hanya bertujuan untuk “menormalisir” agar situasi tetap terjaga. Mereka yang memainkan aturan-aturan ini, tak lebih dari orang-orang yang mempertahankan status quo. Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang ujung-ujungnya adalah pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai b! entuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya.
Ada tiga hal penting dalam komponen kekuasaan/pengetahuan, yaitu Disiplin Ilmu, Institusi, dan Tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem regulasi ini. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance) harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat. Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran. Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi. Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat, menentukan ma! na yang mendominasi dan terdominasi.
Menurut Bourdieu, pada satu sisi masyarakat distrukturkan oleh pembedaan distribusi dan penguasaan modal. Pada sisi lain, individu-individu juga berjuang untuk memperbesar modal yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam pembesaran dan diversifikasi modal ini menentukan posisi dan status di dalam masyarakat (social trajectory dan class distinction). Modal oleh Bourdieu juga dilihat sebagai basis dominasi (meskipun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pelaku-pelaku)[19]. Dalam pertarungan di arena ini, apa yang luput terjelaskan oleh Bourdieu, ada dalam paparan Foucault yaitu keberadaan aparat. Pertarungan dalam arena menjadi semakin berat ketika penguasa modal menempatkan “aparat” untuk mengatur pertarungan itu.
Makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu[20].
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat ini, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen. Kegiatan-kegiatan yang diatasnamakan kelimiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya[21].
Penelitian historis Foucault terhadap kegilaan misalnya, adalah serangan Foucault terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kegilaan bagi Foucault bukan merupakan sesuatu yang secara kodrati adalah penyakit. Penelitiannya membuktikan bahwa pada suatu masa kegilaan bukan dikonsepsikan sebagai penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ke tingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diiisolasi, bukan disembuhkan. Kategorisasi kegilaan ini bukan kesalahan yang kemudian dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik sebagai cacat moral maupun penyakit mental, tak lebih dari sekedar konstruksi sosial. Konstruksi berdasarkan prinsip penataan hal-ihwal yang membuat beberapa hal mungkin lainnya tidak. Prinsip penataan yang oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme[22].
Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya, saat ini didominasi oleh disiplin psikologi. Disiplin yang didapatkan melalui institusi yang namanya universitas. Dan di universitas jualah mahasiswa berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti Freud, Jung, Adler, dan lain sebagainya. Orang menggunakan kombinasi ketiganya guna menghasilkan satu mesin kebenaran untuk berbicara mengenai kegilaan. Di luar itu, semua adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim di pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang kesehatan menta seorang terdakwa. Haki! m pasti akan memanggil ahli psikologi jebolan universitas yang sudah banyak mengunyah jajanan intelektual dari beraneka ragam tokoh psikologi[23].
Saya akan hadirkan satu contoh yang dialami teman saya. Teman saya itu, sebut saja Wawan (nama samaran) pernah diminta oleh seorang dosen, sebut saja Doraemon (nama samaran) untuk memberi testimoni di depan kelas Psikologi Dalam. Dosen Doraemon ini beralasan karena Wawan dulu pernah didiagnosis Schizophrenia. Secara umum sebenarnya tidak ada yang salah dalam diri Wawan, bahkan pemikiran-pemikirannya tampak cermat. Permasalahannya justru terletak pada orang-orang di sekelilingnya yang tidak semua mampu menangkap apa yang dipikirkan Wawan. Perilaku si dosen Doraemon yang meminta Wawan untuk memberi testimoni (atas nama pengetahuan pikirnya) adalah cerminan bagaimana pengetahuan memiliki kekuasaan untuk menempatkan seseorang dalam posisi tertindas. Si dosen ini, yang menurut saya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar ‘psikologi dalam’ (karena sejauh pengenalan saya ia ! hanya pernah menggunakan teori Lacan dalam tesisnya, itupun parsial karena sifat penerapannya yang direduksi sebatas confirmatory pada sebuah penelitian eksperimen kuantitatif dan bukan pewacanaan) tapi oleh pihak Fakultas ia didapuk mengajar mata kuliah Psikologi Dalam. Di sinilah ia memperoleh modal simbolik yang melegitimasi. Pengetahuan yang kurang, bisa ditutup dengan penguasaan modal simbolik.
Pada titik ini, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Bukan hanya itu. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli bahwa kegilaan adalah penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam asilum. Pendapat ahli bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual melahirkan kebijakan yang melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang mengatakan bahwa masturbasi pada anak dapat menimbulkan kebodohan berujung pada pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah. Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan menghasilkan tubuh-tubuh yang taat. Seb! uah permainan yang mematri perilaku badani yang sehat, normal, dan baik[24].
Berdasar pengertian ini, memungkinkan untuk memahami baik itu struktur sosial dalam suatu ranah maupun berbagai posisi serta perbedaan besar modal yang digenggam oleh pihak-pihak yang berada pada posisi tersebut. Beranjak dari pemikiran ini, Hirarki kelas sosial lebih jauh bisa dipahami sebagai ruang multidimensi, dibanding linearitas sebab akibat yang sederhana[25]. Pengetahuan adalah modal. Namun, ketika pengetahuan ini berada di tangan aparat, maka nilai dari pengetahuan ini sebagai modal dapat dipermainkan. Orang yang memiliki pengetahuan rendah bisa mendapat legitimasi, sementara mereka yang memiliki kemampuan tinggi bisa dihalangi untuk memperoleh legitimasi.
Ini karena modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain. Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu unsur penting dari modal simbolis. Dipandang sebagai seseorang dari kelas, status dan prestise tertentu, adalah pasti diterima sebagai absah. Posisi semacam itu memberikan kuasa pada seseorang atau suatu kelompok untuk memberi label, kuasa untuk merepresentasi akal sehat (common sense) dan di atas segalanya adalah kuasa untuk menciptakan ‘versi resmi dunia sosial’[26].
Foucault melihat bahwa objektivitas adalah ranah investigasi. Dalam investigasi, orang selalu mencari dan tak pernah puas pada finalitas definisi. Di sini Foucault mencoba membuat model yang membuat orang mengerti dominasi atau teknologi kekuasaan yang luput dari perhatian Marxisme klasik. Teknologi kekuasaan, seperti Panopticon atau sistem disiplin, dikomposisi oleh konglomerasi diskursus dan praktek, menit demi menit ditata untuk mengendalikan tubuh dan pikiran. Level pengertian bisa didekati oleh rujukan pada subjek atau bentuk kesadaran, tetapi lebih pada melalui analisis yang cermat akan ranah objektivitas. Melalui Bourdieu, kita bisa belajar banyak untuk memetakan arena. Mengidentifikasi siapa pemilik modal dan bagaimana mereka mengoperasikan modalnya. Apa yang ditawarkan oleh Foucault dan Bourdieu, dapat menjadi bekal b! agi kita untuk lebih cermat melihat realitas dan tidak bersikap taken-for-granted.
Refleksi
Pada pembahasan mengenai kategorisasi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini, ada setidaknya dua hal yang bisa kita refleksikan untuk sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan:
§ Pertama, sudah saatnya kita dapat melihat secara kritis dan tidak menempatkan segala sesuatu secara taken-for-granted. Termasuk dalam melihat badan-badan pemegang otorita seperti Himpsi. Retorika mengenai keabsahan, standarisasi, kualifikasi yang dilekatkan pada otoritas semacam Himpsi hendaknya kita telaah lagi substansinya; jika kita tak mau membiarkan diri makin terhanyut dalam dramatisasi kekuasaan yang berorientasi pada kemapanan pihak tertentu. Jika mau berbicara pro! fesi dan profesionalisme maka kualifikasi, standarisasi dan keabsahan lebih ditentukan oleh diri sendiri ketimbang segala badan yang mengklaim dirinya punya kuasa.
§ Kedua, pembatasan-pembatasan itu sebenarnya tak pernah dekat dengan upaya menjaga kualitas atau layanan, namun justru memasung potensi-potensi yang ada karena tak memiliki sertifikasi. Pembatasan itu juga membuat mereka yang tak berpotensi bisa berlindung di balik sertifikat untuk mendongkrak harga dirinya. Suatu kemampuan absurd dan simbolis, dapat dilekatkan pada yang tak berkemampuan dengan adanya sertifikasi tersebut. Pada perkembangan globalisasi yang cenderung meniadakan sekat-sekat kelas, jelas ini berpotens! i membuat tenaga-tenaga potensial dari negeri sendiri terpinggirkan, sementara yang bersertifikat tapi tak memiliki kemampuan juga akan tetap kalah dalam kompetisi dengan tenaga asing.
Dengan menerima begitu saja segala finalitas pendefinisian, maka pertumbuhan kita akan mati. Kita akan tak pernah berpusat pada pengembangan potensi melainkan menenggelamkan diri dalam arus birokrasi. Implikasi dari semua ini, psikologi dan semua insan di dalamnya, akan mati dalam birokrasi.
Semoga menjadi cermatan!
© Audifax – 10 Juni 2005



Catatan-catatan:
[1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[2] Kode Etik Psikologi Indonesia – Pedoman pelaksanaan Kode etik psikologi Indonesia; (2003); HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia); Pasal 1 butir a; hal. 8.
[3] Ibid; Pasal 1 butir b; hal. 8-9
[4] Ibid; Pasal 1 butir d; hal. 10
[5] Frans mungkin telah banyak melakukan prognosis, diagnosis, bahkan konseling dalam berbagai perusahaan. Yang setahu saya dia telah memiliki teorinya sendiri tentang sumber daya manusia yang (kalau tidak salah) sering disebutnya “manusia berdaya”; Harefa saya rasa sebenarnya j! uga telah melakukan modifikasi perilaku ketika dia melakukan pelatihan-pelatihan motivasi atau perubahan kinerja;. Atau bagaimana dengan Deddy Corbuzier dan Romy Rafael yang bermain-main dengan alam bawah sadar manusia? Atau bagaimana para pakar dunia mistis bermain-main dengan psike melalui para relawan yang bersedia tubuhnya menjadi mediasi?
[6] Kode Etik Psikologi Indonesia op cit; Pasal 9 hal.15
[7] Eriyanto (2001) Analisis Wacana – pengantar analisis teks media; Yogyakarta : LKIS; hal. 65-66
[8] Haryatmoko; (2003); Etika Politik dan Kekuasaan; Jakarta: Penerbit Kompas; hal. 217
[9] Cheleen Mahar, Richard Harker, Chris Wilkes; (1995); (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik; diedit oleh Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes; saduran Pipit Maizier; Yogyakarta: Jalasutra; hal. 6
[10] Ibid
[11] Ibid; hal. 15
[12] Richard Light; The Body in Social World and the Social World in the body: Applying Bourdieu’s Work to Analyses of Physical Activity in Schools; online documents:http://www.aare.edu.au/01pap/lig01450.htm
[13] Haryatmoko; (2003); op cit; hal. 218
[14] Michel Foucault; (2002); Power/Knowledge-wacana Kuasa/pengetahuan; saduran Yudi Santosa; Yogyakarta: Bentang Budaya; hal. 251
[15] Muridan S. Widjojo; (2003); Strukturalisme Konstruktivis, Pierre Bourdieu dan kajian sosial budaya; dalam Perancis dan Kita – Strkturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa; penyunting Irzanti Sutanto, Ari Anggari Harapan; Jakarta : Wedatama Widya Sastra; hal. 49
[16] Eriyanto (2001); Ibid
[17] David Chaney; (2004); Lifestyles-Sebuah Pengantar Komprehensif; saduran Nuraeni; Yogyakarta: Jalasutra;
[18] Ibid. 114
[19] Widjojo; (2003); op cit; hal. 44
[20] Michel Foucault; (2002); op.cit; hal. 251
[21] Eriyanto (2001); op cit; hal. 76-77
[22] Donny Gahral Adian; (2002) Berfilsafat tanpa sabuk pengaman dalam pengantar buku Michel Foucault-Pengetahuan dan Metode-karya-karya penting Foucault; saduran Arief; Yogyakarta: Jalasutra, hal. 22
[23] Adian; (2002) op.cit, hal. 23
[24] Ibid, hal. 23-24
[25] Value and Capital in Bourdieu and Marx; online documents: http://www.art.man.a.uk/SPANISH/staff/Writings/capital.html
[26] Widjojo; (2003); op.cit; hal. 45

Sumber : http://himpsijaya.org

Read more!

Tragedi A.S. : Keunggulan Kreativitas atas Kecerdasan

Oleh : Sarlito Wirawan Sarwono
Mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia


Tanggal 11 September 2001, tiba-tiba New York dan Washiington DC jadi neraka. Ratusan, atau mungkin ribuan, orang mati sia-sia setelah tiga pesawat terbang komersial AS ditabrakkan ke dua menara WTC (World Trade Centre) di New York dan Pentagon di Washington DC (sebuah pesawat terbang lagi jatuh di Pensylvania sebelum bisa ditabrakkan ke White House).

Walaupun ada sebagian orang yang senang dengan kejadian itu, namun pada umumnya seluruh dunia, temasuk negara-negara Arab dan Rusia, mengutuknya. Presiden Bush sendiri menyatakan bahwa terorisme ini bukan hanya ditujukan kepada Amerika Serikat, tetapi juga kepada seluruh umat manusia yang cinta kebebasan dan demokrasi. Sedangkan kita sendiri, sebagai manusia Indonesia yang percaya pada Peri Kemanusian, tentunya ikut berduka.

***

Pada saat tulisan ini dibuat, FBI sudah menemukan beberapa bukti yang mulai mengarah kepada identifikasi pelaku terror tersebut. Tetapi masih sangat terlalu awal untuk menuduh seseorang atau suatu golongan tertentu sebagai pelakunya. Namun yang jelas, para pelaku itu pastilah golongan yang sangat membenci bangsa Amerika Serikat. Bukan hanya membenci presiden, tentara atau intelijen Amerika (CIA), tetapi membenci seluruh orang Amerika, termasuk orang-orang sipil, perempuan dan bayi-bayi yang terbunuh dalam tragedi di atas. Pendeknya, para pelaku terror itu adalah musuh bangsa AS.

Musuh bangsa AS ini memang banyak sekali. Demikianlah yang selalu kita dengar dari para pakar dan pengamat politik internasional. Mulai dari Muamar Khadafi dan Saddam Husen sampai Osama bin Laden. Mulai dari sebagian bangsa Arab, sampai ke bangsa Rusia. Tetapi tidak satu pun yang se-adi daya AS dalam segala bidang: ilmu pengetahuan dan teknologi, persenjataan, ekonomi dan keuangan serta politik. Dulu Uni Sovyet merupakan saingan terkuat, sehingga selama puluhan tahun pasca Perang Dunia II, dunia berada dalam kondisi "perang dingin" antara Blok Barat (AS dan kawan-kawan) dan Blok Timur (Rusia dan kawan-kawan). Kedua negara itu sama-sama mampu mengirim orang ke ruang angkasa dan sama-sama punya persenjataan nuklir yang tercanggih. Tetapi setelah kehancuran Uni Sovyet, maka AS merupakan negara terunggul satu-satunya di dunia ini.

Itulah sebabnya banyak orang terperangah dan tidak mengerti, bagaimana mungkin sebuah negara yang se-adi daya AS sampai kecolongan seperti itu. Buat AS sendiri, tragedi ini sangat memalukan, karena itu berarti bahwa seluruh sistem keamanan dan pengamanan negara yang sangat terkenal kecanggihannya itu (dilengkapi dengan pesawat tempur dan kapal-kapal perang modern, sistem radar yang super peka, aparat intelijen yang sangat lihai, sampai sistem pengamanan bandara yang juga luar biasa canggihnya) ternyata dibuat tidak berdaya sama sekali. Di sisi lain, para pelaku terror itu sendiri, hampir-hampir tidak bermodal apa-apa, selain beberapa bilah pisau, keterampilan mempiloti pesawat terbang (yang dipelajari di AS juga), tekad atau ideologi, keberanian, kecerdasan dan … kreativitas.

***

Kreativitas itulah yang ternyata telah menghasilkan operasi terror yang sukses dan hampir sempurna (kecuali sebuah pesawat yang jatuh di Pennsylvania). Kreativitas itulah yang menyebabkan suksesnya unsur dadakan (suatu hal yang sangat penting untuk strategi agresi yang sukses) dan pihak keamanan AS sama sekali tidak bisa mendeteksi persiapan serangan itu yang sangat boleh jadi makan waktu beberapa tahun di bunmi AS sendiri. Kreativitas itulah yang menyebabkan orang AS (termasuk presidennya sampai CIA-nya) sama sekali tidak menduga bahwa serangan tidak datang dari darat (dengan bom bunuh diri), melainkan dari udara. Serangan udara itu pun tidak dengan pesawat-pesawat tempur MIG bikinan Rusia, melainkan menggunakan pesawat komersial milik perusahaan-perusahaan AS sendiri (sehingga tidak tertangkap oleh radar-radar AS yang manapun). Pembajakan pesawat udara juga tidak menggunakan senjata api atau granat, melainkan pisau-pisau kecil yang selama ini memang diijinkan untuk dibawa ke kabin pesawat. Pendeknya, segala yang tidak pernah terpikir oleh otak-otak cerdasnya bangsa AS, itulah yang dilakukan oleh para teroris itu. Itulah yang dinamakan kreativitas.

***

Bangsa AS, walaupun bisa menamakan diri bangsa terpandai di dunia (karena itulah ia bisa mengirimkan orang ke bulan) tetap saja merupakan bangsa yang paling konvensional sedunia (padahal konvensional, atau kebiasaan untuk mengikuti aturan saja, adalah salah satu cirri ketidak-kreativ-an).. Orang Amerika sangat Amerika-sentris. Banyak yang tidak tahu tentang bangsa-bangsa dan negara-negara lain di luar Amerika (dikiranya Indonesia adalah salah satu kota di Bali). Banyak yang mengira bahwa di luar bangsa dan negara Amerika adalah bangsa primitif. Ketika Indonesia dilanda kerusuhan pada bukan Mei 1988 (yang sangat kecil skalanya dibandingkan dengan tragedi AS), seluruh orang AS dihimbau untuk tidak pergi ke Indonesia, karena negara ini dianggap sangat tidak aman. Orang AS juga sangat empiris (ini memang cirri ilmuwan), artinya seluruh pengalaman masa lalu dijadikannya landasan untuk membangun pengetahuan untuk mengantisipasi masa yang akan datang. Konsekuensinya, yang belum pernah terjadi tidak ikut diperhitungkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi.

Di sisi lain, para teroris justru memanfaatkan segala sesuatu yang belum pernah terjadi dan dianggap tidak mungkin terjadi. Inilah cirri kreativitas. Memang, salah satu prasayarat dari kreativitas adalah harus berani melanggar konvensi (kesepakatan, aturan, norma) yang ada. Itulah sebabnya pelukis Picasso bisa sangat terkenal (karena ia berani melukiskan mata di paha dan jari tangan berjumlah enam) dan Colombus bisa menemukan benua Amerika (karena ia berani melawan pendapat umum ketika itu bahwa bumi ini datar, bukan bulat). Nah, para teroris ini pun berani melanggar segala konvensi yang ada, termasuk membunuh orang-orang sipil, wanita dan anak-anak yang tidak berdosa (yang oleh orang AS sangat dilindungi haknya dengan HAM), dan tentu saja temasuk membunuhdirinya sendiri.

Semua pelanggaran konvensi itu dapat dilakukan oleh orang-orang yang sangat membenci Amerika. Sudah barang tentu bukan oleh orang yang permohonan visanya pernah ditolak oleh kedutaan Amerika, tetapi oleh orang-orang yang sejak lahirnya mengalami penderitaan sebagai dampak politik luar negeri Amerika dan hidup di lingkungan yang selalu bermusuhan dengan bangsa itu.

Ironisnya, orang Amerika bukannya tidak kreatif sama sekali. Produser-produser film Hollywood sudah banyak membuat film spektakuler tentang pembajakan pesawat terbang dan Towering Inferno, tetapi justru musuh-musuh AS yang memanfaatkan kreativitas produser-produser film itu, sementara orang-orang AS sendiri hanya menganggapnya sebagai khayalan untuk hiburan belaka. Maka mungkin sudah saatnya bangsa AS (dan mungkin juga seluruh umat manusia) mulai memikirkan kemungkinan film-film Jurasic Parc, Indeoendence Day dan Star Wars juga menjadi kenyataan.

Sumber : http://www.himpsi.org

Read more!

Pengaruh Media Terhadap Kognisi Anak (Mengenai Konsep Teroris)


Oleh : Lukman Nul Hakim
Jamia Millia Islamia University, New Delhi India


Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang.

Kognisi adalah semua proses yang terjadi di fikiran kita yaitu, melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan.

Menurut survey yang dilakukan the Pew Research Center and the Pew Forum on Religion and Public Life, dalam 1 tahun terjadi peningkatan yang signifikan mengenai jumlah orang amerika yang memandang Islam sebagai agama yang memicu kekerasan. Survey dilaksanakan pada bulan maret 2002 dan juli 2003 dengan sample orang amerika dewasa
berjumlah 2.002 orang. Hasilnya menunjukan pada tahun 2002, 25% dari mereka mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memicu kekerasan dan pada tahun 2003 prosentasi ini meningkat tajam menjadi 44%.

Banyak variable yang bisa dikatakan mempengaruhi peningkatan tersebut, dan faktor pengaruh media pasti ada didalamnya. Sejak peristiwa 9/11 sampai dengan saat ini, hampir setiap hari ada pemberitaan ataupun pembahasan mengenai teroris, dan selalu dikaitkan dengan Islam. Jadi sebuah konsekwensi logis jika dalam setahun (2002-2003) terjadi peningkatan yang tajam mengenai impresi Islam terkait dengan kekerasan dan terorisme.

Amerika merupakan salah satu negara yang paling gencar memberikan asosiasi Islam-terorisme melalui media, terutama sejak kejadian 9/11. Padahal kenyataan menurut data biro keamanan departemen luar negeri AS tahun 1990 seperti ditulis oleh Aswar Hasan di Kompas Cyber Media edisi 19 april 2002, dari 233 insiden teroris anti amerika, hanya 8 yang berhubungan dengan arab, dan berdasarkan peta terorisme global, terorisme paling banyak terjadi di Amerika Latin yaitu 162 kasus, di Asia terjadi 96 kasus sedangkan di Timur tengah hanya 63 kasus.

Usaha Amerika menggunakan media sebagai medium pembentukan kognisinya juga bisa dilihat dari kasus penayangan film American Exposure pada tentaranya yang akan berperang. Seperti diwartakan oleh Aswar Hasan :
Film itu berdurasi 40 menit, dengan paparan kisah yang sarat propaganda justifikasi stereotipe aktivis Islam teroris. Film itu menggambarkan bagaimana bom meledak di sana sini, korban berserakan, bersimbah darah, dan di antaranya, ada yang menangisi tubuh korban yang terkena bom. Di tengah hiruk-pikuk ledakan bom, sekelompok kaum muslimin tampak sedang shalat berjamaah. Setelah itu, muncul komentar, "Era Baru fundamentalisme Islam Mujahidin sedang bangkit". "Karena itu, jika mereka bersedia mati untuk Tuhan, mungkin kita perlu datang ke sana, untuk menyelamatkan mereka".
Pada adegan lain, tampil seorang wanita tua bertubuh kecil, berjalan, diikuti komentar sang narator, "...dia bisa saja merupakan teroris. Mereka, patut kita curigai. Jangan mudah percaya, sepanjang dia muslim aktivis. Begitu pula, saat layar memperlihatkan gambar sekelompok anak-anak muslim, maka si narator pun menambahkan, "Mereka boleh jadi merupakan teroris masa depan".
Usai pemutaran film, pertanyaan pertama yang diajukan kepada para prajurit yang menontonnya adalah; "Bagaimana bila kita angkat senjata dan menghancurkan mereka?" Spontan prajurit Amerika yang mengikuti pelatihan itu berkomentar; "Rasanya, kita benar-benar perlu turun tangan menghancurkan mereka. Dengan begitu, dunia ini akan menjadi aman dan damai, dan itu sesuai tugas kita sebagai Polisi Dunia."

Usaha Amerika tersebut merupakan upaya brainwashed dengan membentuk kognisi, persepsi dengan perantara media.

Berbagai kejadian di setiap pelosok dunia diwartakan oleh media, baik itu media televisi, koran, majalah, internet, dan lain sebagainya. Penyajian berita, pilihan angle, pilihan highlight kalimat, akan diterima oleh pembacanya. Kenyataannya menurut Fiske & Taylor (1991), masyarakat memandang bahwa berita dimedia adalah sebuah kebenaran, dalam artian masyarakat umum cenderung menerimanya secara naif, menerima begitu saja berita-berita tersebut tanpa mempertanyakan ke-valid-an berita tersebut.

Berbagai pemberitaaan media memberikan masukan kepada kognisi individu, dan kognisi akan membentuk sikap.

Sikap
Baron (1979); Fishbein and Azjen 1975 (dalam Baron, 1979); Kiesler and Munson 1975 (dalam Baron, 1979) mendefinisikan sikap sebagai kesatuan perasaan (feelings), keyakinan (beliefs), dan kecenderungan berperilaku (behavior tendencies) terhadap orang lain, kelompok, faham, dan objek-objek yang relatif menetap.

Ada tiga komponen sikap yaitu (1) afektif (affective), yang didalamnya termasuk perasaan suka tidak suka terhadap suatu objek atau orang; (2) kognitif, termasuk keyakinan tentang objek atau orang tersebut ; dan (3) perilaku, yaitu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap objek atau orang tersebut.

Sikap merupakan kajian yang sangat krusial karena sikap berperan sangat penting dalam setiap aspek dalam kehidupan sosial. Pertama, sikap pada dasarnya mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kita dengan orang lain. Sebagai contoh sikap yang positif terhadap seseorang membuat kita senang bertemu dengan orang itu, bahkan melakukan sesuatu untuk dia, mengimitasi perilakunya, dll. Sementara sikap yang negatif membuat kita cenderung menolak, menghindari, bahkan mungkin berperilaku kasar terhadap orang tersebut. Kedua, sikap mempengaruhi banyak keputusan-keputusan penting kita. Pilihan kita pada masa pemilihan presiden, gaya hidup, jurusan kuliah, semua dipengaruhi sikap kita terhadap orang dan objek-objek tersebut. Ketiga, sikap menentukan posisi kita ketika kita dihadapkan dengan isu-isu sosial yang krusial.

Pembentukan Sikap
Menurut Baron (1979), ada tiga proses yang sangat sederhana tetapi mempunyai efek yang sangat kuat terhadap pembentukan sikap. Yaitu classical conditioning, instrumental conditioning dan observational learning. Pada tulisan ini saya hanya menekankan pada classical conditioning, karena menurut saya proses inilah yang sedang terjadi saat ini.

Classical conditioning yaitu proses dimana beberapa stimulus yang bersifat netral, yaitu tidak mempunyai efek untuk memicu repon positif ataupun negatif, secara bertahap mempunyai efek itu (memicu respon positif ataupun negatif), setelah dilakukan pemasangan/asosiasi dengan stimulus lain yang memang pada dasarnya mempunyai efek memicu respon.

Kata Islam yang mempunyai efek netral, ketika dipasangkan dengan kata teroris yang mempunyai efek negatif, maka jika dilakukan pemasangan (pengasosiasian) secara terus menerus akan membuat kata Islam mempunyai efek yang sama dengan kata teroris.

Sebuah experimen yang dilakukan oleh Staats and Staats (1958) membuktikan efek classical conditioning tersebut. Mereka memasangkan/mengasosiasikan nama negara Belanda dengan kata-kata positif dan memasangkan nama negara Swedia dengan kata-kata yang negatif. Caranya yaitu setiap kata nama negara Belanda ditampilkan experimenter mengucapkan kata-kata yang positif seperti hadiah, senang, bersih, dll. Dan kebalikannya ketika nama negara swedia ditampilkan di monitor, kata-kata yang diucapkan seperti : jelek, kotor, pahit, kegagalan, dsb. Kemudian setelah beberapa menit experimenter meminta para subjek penelitian untuk memberikan impresi mereka tentang kedua negara tersebut, dan ternyata Belanda mendapat rating yang lebih positif dibanding Swedia. Perlu digaris bawahi bahwa pemasangan tersebut hanya dilakukan dalam beberapa menit dan sudah memberikan dampak kepada subjek penelitan.

Proses Pembentukan Asosiasi Teroris – Islam
Pemberitaan di media yang selalu menyandingkan kata teroris dan Islam menciptakan asosiasi yang kuat antara kedua kata tersebut. Setiap hari kita disajikan berita terorisme yang terkait dengan Islam. Dipelosok dunia manapun dan kapanpun waktunya publik selalu disajikan dengan asosiasi tersebut. Proses asosiasi tersebut bagaikan memenuhi seluruh ruang dan waktu. Experiment oleh Staats yang hanya dilakukan dalam beberapa menit telah memberikan dampak yang begitu nyata, bayangkan betapa dahsyatnya dampak proses asosiasi ini yang telah berlangsung bertahun-tahun, sedang dan masih akan berlangsung.

Atkinson & Shiffrin (1971) mengatakan bahwa semua rangsangan stimulus baik itu objek visual, auditif maupun konatif diterima oleh organ-organ indera (sensory memory) dan diteruskan ke working memory atau kadang disebut juga Short Term Memory (STM) akhirnya berlabuh di Long Term Memory (LTM).

Stimulus diterima oleh SM hanya beberapa detik, dan jika seseorang memberikan perhatian pada stimulus, maka stimulus itu akan memasuki STM/WM yang mampu menyimpan memori sampai dengan sekitar 20 detik, jika ada perhatian, usaha ataupun proses pada tahapan ini, maka stimulus itupun akan tersimpan di LTM secara permanen. Tanpa perhatian dan proses yang lebih kompleks pada setiap proses, akan mengakibatkan lupa.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa metode mengingat asosiasi merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk meningkatkan kemampuan dalam mengingat. Sesungguhnya kita kerap menggunakan metode ini dalam aktifitas sehari-hari. Jika kita baru berkenalan dengan seseorang, maka untuk mengingat dan menyimpan data dimemori tentang orang tersebut kita biasanya menggunakan asosiasi.

Misalkan anda berkenalan dengan X untuk pertamakali, maka wajah X akan anda simpan dimemori, dan diasosiasikan dengan data-data yang berhasil didapat. Misalkan data lainnya adalah X cantik, murah senyum, ada tahi lalat di hidung, dll. Sehingga dikemudian hari jika anda mendengar seseorang menyebut nama X maka muncullah data-data yang terasosiasi dengan nama orang tersebut.

Pada kondisi pengasosiasian oleh media antara kata teroris dan Islam, sesungguhnya yang juga terjadi adalah asosiasi atas semua data yang terkait dengan teroris dan segala data yang terkait dengan Islam yang telah tersimpan dimemori seseorang. Misalkan dalam kognisi si fulan berdasarkan data akumulatif yang terkumpul sepanjang hidupnya, kata teroris berasosiasi dengan kata bom, pembunuhan, pelakunya menggunakan topeng, sadis, biadab, dll. Sedangkan kata Islam berasosiasi dengan orang yang mengenakan kopyah, berjenggot, sholat, orang Indonesia, orang Arab, dll.

TERORIS = PEMBUNUH, PELAKU PENGEBOMAN, MENGENAKAN TOPENG, DLL.
+
ISLAM = ORANG ARAB, ORANG INDONESIA, MENGENAKAN KOPYAH, SHOLAT, DLL.
=
ORANG ISLAM ADALAH TERORIS

Maka sebagai asosiasi kedua kata tersebut muncul kesimpulan bahwa orang Islam, yang suka sholat, mengenakan kopyah, dan berjanggut adalah teroris, orang yang suka membunuh, dsb.

Kognisi kita akan terefleksi pada sikap kita terhadap sesuatu, yang berarti hasil asosiasi teroris-Islam yang tertanam dalam benak tiap-tiap orang akan mempengaruhi sikapnya.

Dampak Asosiasi teroris-Islam terhadap kognisi anak-anak
Sampai dengan mereka setidaknya remaja, kebanyakan anak-anak mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka. Mereka setuju dengan orang tua mereka atas semua isu. Anak-anak mengadopsi keyakinan dan sikap suka tidak suka terhadap sesuatu, baik itu mengenai makanan, pakaian bahkan pilihan akan partai. Bahkan Baron (1979) mengatakan bahwa anak-anak seringkali merupakan foto kopi orang tua mereka. Dan anak-anak cenderung mengikuti sikap orang tuanya secara buta, tanpa dasar kognitif yang rasional. Yang membedakan dampak media antara bagi orang dewasa dengan anak-anak adalah :

Pertama anak-anak masih mempunyai keterbatasan pengetahuan dan kemampuan untuk menganalisa kejadian, dan hal tersebut akan membuat mereka dengan mudah menerima asosiasi teroris-Islam. Mereka akan menerima semua berita itu tanpa banyak perlawanan. Anak-anak setiap saat melihat di televisi, membaca dikoran tentang terorisme-Islam. Walaupun tidak seintens individu-individu dewasa dalam mengakses berita tetapi proses yang sama dalam kadar yang berbeda juga terjadi.

Kedua, karena usia yang masih muda anak-anak akan mengalami proses ini secara lebih lama, yang akan memberikan efek yang lebih mendalam.

Ketiga, dengan kognisi, belief dan afeksi yang telah tertanam lama, sebagai para pemimpin dimasa mendatang probabilitas bahwa mereka akan berperilaku negatif terhadap Islam menjadi sangat besar. Dan perilaku ini akan menjadi perilaku kolektif diseluruh dunia.

Dengan asumsi-asumsi tersebut Islam akan semakin termajinalkan dimasa mendatang.

Upaya Meng-counter
Pemberitaan tentang Islam yang tidak proporsional akan menciptakan image yang disequilibrium tentang pemahaman Islam. Pemberitaan yang baik harus cover both side, seimbang, tidak hanya meng-highlight terorisme yang dilakukan oleh segelintir orang Islam, tetapi juga hal-hal positif yang dilakukan orang-orang Islam.

Upaya menyeimbangkan proses yang telah begitu lama dan kuat memang relatif sulit, tapi upaya harus dilakukan.

Bronfenbrenner mengatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi individu mempunyai tingkatan-tingkatan. Pengaruh utama adalah dari keluarga, lalu sekolah, kemudian media dan kebijakan pemerintah. Upaya mengcounter harus dilakukan secara simultan pada semua tingkatan-tingkatan tersebut.

Sebagai lingkungan terdekat, keluarga dapat menyeimbangkan asosiasi negatif tersebut. Kemudian otoritas formal lain selain orang tua seperti guru, media, juga bisa mulai menyajikan berita yang seimbang, dan pemerintah sebaiknya mendukung dengan peraturan-peraturan yang membuat aturan main yang jelas sehingga asas keseimbangan tetap dijaga.

Daftar bacaan
· Alam, W. Media and Communications in The Third World: Impact of Media on Society. Kanishka Publisher, 2000.
· Baron, R.A. Psychology. Allyn & Bacon,1998
· Baron, R.A. Social Psychology, Understanding Human Interaction. Allyn & Bacon, 1979
· Bhatnagar. R.V. Media and Communications in The Third World: Social Impact of The Electronic Media. Kanishka Publisher, 2000
· Chaplin, C.P. Kamus Lengkap Psikologi. PT. RajaGrafindo Persada, 1993
· Fiske, S.T & Taylor, S.E. Social Cognition. 2nd ed. McGraw Hill, 1991.
· Gazali, E. Without Media There Can Be No Terrorism. www.kompas.com.
· Hasan, A. Ekspose Terorisme Dalam Justifikasi Stereotipe Aktivis Islam. www.kompas.com. 2002.
· Lindsay, P.H. & Norman, D.A. Human Information Processing. 2nd ed, Academic Press, 1977
· Morgan and King R.A. Introduction To Psychology. 7th ed, Tata McGraw Hill, 1996.
· The Pew Research Center. Growing Number of Americans Say Islam encourages Violance among Followers. WWW.pewglobal.org. 2003.

Read more!