Friday, October 06, 2006

HIMPSI Dan Tatanan Sosial

oleh: I.W. Bagus, S.Psi

Reformasi
Bangsa kita sedang melakukan reformasi yaitu suatu perubahan bentuk dari suatu bentuk yang sifatnya feodal menjadi bentuk yang sifatnya demokratis. Sifat-sifat feodal yang ada ditatanan masyarakat ini misalnya saja, bawahan harus patuh terhadap atasan apapun yang terjadi. Lain hal adalah bahwa peraturan berbasis pada kekuasaan yang artinya rakyat tidak mendapat bagian sama sekali untuk memberikan suara dan apa yang diputuskan harus dijalankan tanpa melihat kenyataan yang ada. Di lain pihak, sifat-sifat demokratis terlihat dari keputusan yang berbasis masyarakat. Masyarakat mempunyai suara dan dapat memberikan masukkan bagi terbentuknya keputusan tersebut dan didasarkan pada logika kemasyarakatan yang objektif dan bertanggungjawab. Segala sesuatunya bersifat transparan. Hubungan penguasa dan rakyat lebih bersifat sebagai mitra dalam membentuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang baik.

Kondisi reformasi dalam kenyataan mempunyai beberapa pengaruh, baik yang positif maupun negatif. Yang positif adalah bahwa segala sesuatu lebih bersifat transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi ekses negatif juga ada, yang lebih dikarenakan masyarakat belum mendapatkan pendidikan/pengetahuan tentang apa itu tingkah laku yang bertanggungjawab. Karena pada kondisi yang demokratis, setiap tingkah laku menpunyai konsekuensi dan tanggungjawab yang harus dipikul oleh setiap anggota masyarakat. Bukan tanggung menjawab alias...pukrul bambu. Atau tanggung tidak menjawab...alias tidak peka.

Himpsi sebagai salah satu organisasi profesi haruslah mengalami reformasi karena Himpsi adalah sebuah komunitas dari “Indonesia kecil”. Sebuah himpunan dari anggota yang sifatnya homogen dalam keprofesiannya tetapi sekaligus heterogen dalam kehidupan masyarakatnya. Sebuah perubahan yang berbasis masyarakat dalam Himpsi merupakan salah satu kontribusi yang besar bagi terciptanya Indonesia yang memiliki tatanan sosial yang baik serta berorientasi kepada anggota dan masyarakat luas.

Apa itu Organisasi Profesi ?

Organisasi profesi adalah organisasi yang bertumpu pada profesionalitas. Organisasi profesi yang baik harus transparan, mandiri dan secara terus menerus bertanggung jawab dalam mengembangkan potensi anggota-anggotanya dalam memberikan jasa pada masyarakat, serta menstimulasi pengembangan masyarakat dengan ilmu psikologi.
Organisasi profesi terbentuk karena adanya kebutuhan anggotanya untuk dapat mengeksiskan diri dalam masyarakat sebagai anggota masyarakat yang berjati diri dan bermartabat, maka sudah barang tentu sebuah organisasi profesi harus berfokus pada bagaimana cara memfasilitasi anggota-anggotanya untuk dapat eksis di masyarakat. Kita tahu bahwa dengan kondisi saat ini, kita harus menjadi anggota masyarakat yang kritis, proaktif dan cepat tanggap dengan kondisi sekitar agar tidak terhantam oleh globalisasi dan kalah dalam percaturan keilmuan / keprofesian di tingkat internasional. Kita harus mampu dengan segala kekurangan dan kelebihan untuk tetap diakui di negara kita sendiri. Hal ini tidak mungkin dapat terwujud bila tidak didukung oleh organisasi profesi yang ‘cerdas’ dan ‘inovatif’.

Himpsi adalah sebuah organisasi profesi bagi mereka yang lulus mempelajari Psikologi. Sebuah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia baik yang tersirat maupun tersurat. Psikologi merupakan ilmu yang secara hireraki menjadi ilmu yang sifatnya panutan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku.
Karena sifat dari ilmu psikologi ini, maka masyarakat mempunyai harapan yang lebih terhadap para lulusan psikologi ini untuk memberikan panutan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Adalah sangat ironis, bila seorang lulusan psikologi tidak mencerminkan keilmuannya pada saat berhubungan dengan orang lain. Misalnya ada lulusan psikologi yang melakukan kebohongan publik padahal mereka belajar betul apa itu perkembangan moral dan tahap-tahapannya. Ada anggota yang tidak mau bayar iuran apalagi bila dia pengurus, padahal dia tahu betul setiap anggota wajib membayar iuran apapun posisinya di organisasi tersebut. Ada pula anggota yang hanya membayar pada kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya bila akan kongres atau muswil. Sikap-sikap yang egois dan feodal inilah yang harus dihilangkan dari Himpsi.

Himpsi sebagai organisasi profesi fokus utamanya adalah anggota. Maka anggota adalah pusat dari segala kebijakan, aturan dan aktivitas keorganisasian. Kebutuhan anggota untuk dapat eksis di masyarakat inilah yang menjadi patokan sebagai haluan organisasi. Tidak mungkin sebuah kebijakan dikeluarkan tanpa persetujuan ‘an sich’ dari para anggotanya karena bila hal ini terjadi maka anggota akan protes dan tidak akan mau menjalankannya. Yang paling drastis adalah anggota akan meninggalkan organisasi profesinya untuk berkiprah sendiri atau yang lebih ekstrim membuat kumpulan sendiri. Bila sampai hal ini terjadi maka berarti Himpsi sudah GAGAL untuk menjadi wadah yang bermanfaat bagi anggotanya....ini yang menyedihkan.

Himpsi dan Tanggung Jawab Sosial dalam Masyarakat

Dari beberapa titik pandang di atas, dapat disimpulkan bahwa Himpsi sebagai Himpunan Psikologi Indonesia mempunyai tugas yang berat yaitu menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dengan memberikan kontribusi dari keilmuannya dalam bertingkah laku yang benar dan bertanggungjawab dalam rangka membentuk masyarakat yang berharkat dan bermartabat dan hal ini hanya dapat dilakukan bila Himpsi dalam hal ini anggota dan pengurusnya saling memberikan tauladan yang baik.

Baik anggota maupun pengurus harus mempunyai satu tujuan yaitu menjadi anggota masyarakat yang bermartabat dan dapat menjadi panutan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat atau dengan kata lain Himpsi harus mempunyai tanggung jawab sosial dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat akan melihat Himpsi dengan “sebelah mata” bila Himpsi tidak dapat berbuat sesuai dengan perannya di masyarakat yaitu sebagai panutan dalam bertingkah laku yang bertanggungjawab.

Perubahan Orientasi

Sebuah perubahan besar-besaran harus dilakukan dalam tubuh Himpsi. Mampukah kita sebagai anggota melakukan perubahan ini? Mampukah kita sebagai pengurus melakukan perubahan ini? Jawabannya adalah harus mampu. Ketika kita dalam memberikan konseling bagi klien, kita memberikan keyakinan kepada mereka untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri, maka kita pun harus dapat memberikan keyakinan pada diri kita sendiri bahwa kita mampu melakukan perubahan ini...bagaimanapun berat dan pahitnya perubahan ini.

Tidak mampu berubah? Takut berubah? Tidak yakin?...seperti dalam buku “Who Moves my Cheese?” sebuah ‘bestseller’ yang lebih dari 5 tahun lalu diterbitkan....apakah Himpsi berpikir untuk diam ditempat dan saling menyalahkan atau ubah semua dan lakukan sesuatu untuk menjadi ‘sesuatu’ di masa datang...... Kita yang menentukan....kita yang menentukan....

Tapi apa yang harus dirubah? Tatacara sistem organisasi Himpsi
Siapa yang harus dirubah atau berubah? Kita semua.
Anggota – lebih arif dalam memberikan kritik dan saran, bila tidak setuju berikan masukkan yang logis dan mengarah pada masalah sesuai dengan kadarnya. Tidak asal protes tapi tidak juga memberikan masukkan yang baik.
Pengurus – Komunikasi tentang kebijakan secara terbuka dan jujur perlu ditingkatkan. Pengurus harus sedemikian rupa berbasis pada anggota dalam tiap keputusannya atau dengan kata lain mementingkan anggota daripada dirinya sendiri. Sistem keadministrasian diperbaiki untuk memudahkan kontrol dan memudahkan akses bagi anggota.
Sistem organisasi - fokus adalah pada anggota dan bukan pada figur pengurus. Kebijakan yang dibuat adalah untuk mensejahterakan anggota serta mempermudah anggota dalam berkiprah di keprofesiannya. Sistem-sistem yang kurang bermanfaat bagi anggota dirubah menjadi bermanfaat untuk anggota dalam arti yang sebenarnya.
Struktur organisasi – dibuat ramping dan diperbanyak departemen yang kompeten dalam menangani kebutuhan anggota dan masyarakat.

Jakarta, 25 Maret 2005

Sumber : http://himpsijaya.org

Read more!

Slamet Iman Santoso (1907-2004) Bapak Psikologi Indonesia

Profesor emeritus Fakultas Psikologi UI yang meninggal dalam usia 97 tahun, Selasa 9 November 2004 dini hari pukul 00.30, ini tidak saja perintis dan pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tetapi juga perintis studi psikologi di Indonesia. Patutlah dia digelari Bapak Psikologi Indonesia. Psikiater kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907, ini juga ikut mendirikan beberapa universitas.Pria yang senang berpakaian putih-putih ini dikenal jujur, jernih, tegas dan konsisten. Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Penerima Bintang Mahaputra Utama III (1973) ini, menurut puteranya Dr Oerip Setiono, meninggal setelah tiga tahun terakhir terbaring di rumah kediamannya, Jl Cimandiri 26, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan di TPU Menteng Pulo setelah sebelumnya disemayamkan di aula FKUI Salemba, Jakarta. Dia meninggalkan tujuh anak, 13 cucu dan delapan buyut. Isterinya, Suprapti Sutejo, sudah terlebih dahulu meninggal pada November 1983.Penerima penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional dari IKIP Jakarta (UNJ) pada tahun 1978, ini selain sebagai perintis dan pendiri Fakultas Psikologi UI juga ikut mendirikan Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin. Motivasi mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938), ini merintis dan mendirikan fakultas psikologi, karena sebagai psikiater menemukan banyak masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh psikiater. Dalam bidang profesi kedokteran, dia menerima penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989. Sebagai seorang ahli psikologi, tahun 1961, dia memimpin sekitar lima puluh mahasiswa Fakultas Psikologi UI, mengunjungi penduduk yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan dan dipindahkan ke daerah Tebet dan Penjaringan. Mereka berdialog dengan penduduk tergusur itu. Kunjungan ini, menjadi awal pogram mahasiswa turun ke lapangan (masyarakat).Bidang studi psikologi pun makin menarik perhatian banyak orang. Masa-masa psikologi mengalami kesulitan (saat psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), seperti sudah terlupakan. Saat itu, kata Slamet dalam pidato ketika menerima penghargaan bintang jasa Mahaputra Utama III (1973), dia merasa ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini. Conny Semiawan, mantan rektor IKIP Jakarta yang juga murid dan sempat menjadi asisten Slamet Iman dalam menguji mahasiswa, mengenang Slamet sebagai orang yang sangat tertib, teliti dan juga memiliki wawasan yang sangat luas, selalu berfikir filosofis meskipun bukan ahli filsafat. Dalam menguji mahasiswa, Slamet selalu menegaskan jangan menanyakan apa yang kamu ketahui, tetapi usahakan untuk bertanya apa yang dipahami mahasiswa. Dengan demikian dialog akan terjadi dan mahasiswa dapat mengaktualisasikan dirinya.Menurut Conny Semiawan, Slamet adalah tokoh pendidikan yang berani. Dia adalah orang pertama mengusulkan perlunya satu standar bagi semua jenjang pendidikan di Indonesia. Usul yang dia lontarkan sepanjang tahun 1979-1981 ini membuat heboh dunia pendidikan. Dia juga orang yang mengkritik keras minimnya gaji guru yang dia sebut dapat merusak dunia pendidikan. Dia membandingkan gaji guru jaman Belanda yang dua kali lipat daripada gaji dokter. Sehingga guru tak perlu mencari tambahan dan dunia pendidikan tidak dicampurbaurkan dengan bisnis.Dia juga mempunyai andil besar dalam merintis program penerimaan mahasiswa melalui UMPTN. Ketika itu (1979-1980), Slamet menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Saat itu terjadi booming lulusan SMA yang ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sebagai contoh, UI yang kapasitasnya sekitar 800 mahasiswa tapi jumlah pendaftar 4000 orang. Maka melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu sistempenerimaan calon mahasiswa yang sejak 1979 sudah berlangsung dengan nama yang sekian kali berubah mulai dari Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pria yang dikenal terus terang dan sempat menjadi Penjabat Rektor UI, ini meskipun sudah mengakhiri jabatan sebagai Ketua Komisi Pembaruan Sistem Pendidikan, 1980, ia masih sempat mengurusi penerimaan calon mahasiswa pada tahun 1981. Sudah sangat banyak tokoh pendidikan bekas murid Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1950-1953) serta mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini. Di antaranya, Conny Semiawan, Fuad Hassan, Sujudi, Wardiman Djojonegoro, Mahar Mardjono dan Saparinah Sadli. Para mantan mahasiswanya ini sangat menghormati dan mengagumi gurunya ini. Mereka mengenangnya sebagai guru yang sangat akrab dan suka menularkan pengalaman. Salah satu ucapannya dalam acara peringatan 100 tahun Albert Einstein di ruang Rektorat UI, 1979: ''Ciri orang pandai, hal yang ruwet bisa disederhanakan, sebaliknya orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana.'' Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968-1973), ini juga penulis terkemuka. Dia sering menulis kolom di berbagai media dan juga menulis buku. Di antara bukunya yang terkenal adalah Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in Indonesia; Psychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan; dan Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, 1987. Sebagai dokter ahli penyakit saraf dan jiwa, dia memasang iklan menutup praktek untuk selamanya, 1 Januari 1979. Dia menyadari dirinya sudah tua. Dia pun mengaku sudah capek. Lahir TerbungkusPemberian namanya, Slamet Iman santoso, terkait dengan proses kelahirannya. Dia dilahirkan dalam keadaan terbungkus ari-ari. Ketika itu, semua penduduk desa heran dan membicarakannya. Dia dianggap sebagai bayi ajaib. Dipercaya bayi yang lahir terbungkus ari-ari itu kelak akan mempunyai kelebihan. Sangat jarang kelahiran bayi terbungkus.Saat bayi terbungkus itu lahir, orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya: "Mana bayinya, mana bayinya?" Untunglah tidak semua penduduk desa panic terheran-heran. Seorang tetangga, Nyonya Tambi, isteri seorang petani Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang membungkusnya. Bayi itupun menangis dan lahir dengan selamat. Maka kata selamat (menjadi Slamet) dijadikan nama jabang bayi yang baru lahir itu. Dia memang terlahir dari keluarga berpendidikan pada zamannya. Ayahnya seorang Asisten Wedana Banjaran. Di bawah pengasuhan ayahnya, Slamet menikmati masa kecilnya dengan penanaman nilai-nilai keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong. Dia pun berulangkali, kepada banyak orang, mengisahkan berbagai pengalaman masa kecil yang yang amat berkesan baginya. Salah satu pengalaman itu adalah ketika di suatu saat dia dan anak lain sedang sibuk mencari ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya. Eh, tiba-tiba Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi. Namun dia beruntung, karena anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga dia tertolong. Dia dan kawan-kawanya menceriterakan peristiwa itu kepada Ayah-Ibu Slamet. Sang Ayah dengan spontan mengharuskannya memberi makan si Macan (nama anjing tadi Pak Lurah) itu. Masa kecil dan remaja anak sulung dari dua bersaudara ini sangat bahagia. Ia ikut kakeknya di Magelang, Jawa Tengah. Saking nakalnya, dia dijuluki teman-temannya 'setan alas'. ''Saya senang main ketapel, berburu anjing dan burung,'' katanya, sebagaimana dikutip dalam Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Bahkan mengaku sekali-kali mengganggu orang. Namun masa kecil dan remajanya diisi dengan mengecap pendidikan pada jaman kolonial Belanda di Magelang, mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsche School (HIS (1912-1920) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO (1920-1923). Kemudian melanjut ke MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); dan Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934).Dia pun terkesan sangat mengagungkan pendidikan masa kolonial Belanda itu. Walaupun dia menyadari kondisi pendidikan ketika itu sangat berbeda disbanding setelah Indonesia merdeka. Dia mengenang, pada zamannya bersekolah dulu, sangat diasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan murid dan bersatu dengan orang tua murid. Hal yang sudah jarang terjadi saat ini. Masuknya Jepang, menurutnya, memberi andil atas awut-awutannya pendidikan di negeri ini. Terasa sekali suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrabnya hubungan orang tua-murid-guru, tiba-tiba hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang yang mulai awut-awutan. Ironisnya, kondisi ini terus berlangsung sampai sekarang. Dia memberi beberapa bukti. Di antaranya, sekarang ada guru yang mengasih tahu bahan ujian yang akan diuji kepada murid.AbumawasProfesor emeritus Fakultas Psikologi UI ini juga dikenal sebagi tokoh yang jahil dan sering dinilai aneh. Dia sendiri mengibaratkan diri sebagai Abunawas. Karena, menurutnya, Abunawas itu tokoh penuh akal. Jiwa Abunawas itu pun banyak menyemangati hidupnya.Dalam buku, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, diceritakan sekali waktu dia melihat mobil seorang pejabat UI diparkir salah dengan posisi miring di halaman kampus UI. Ia mengambil kertas dan menulisnya dengan spidol: "Barangsiapa yang parkir mobil miring, otaknya juga miring". Ketika Bung Karno menanyakan pendapatnya mengenai semboyan "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit", Slamet dengan tenang menjawab "Nggak, malah saya gantungkan di cantelan baju. Kalau usang kan bisa diganti."Suatu ketika, dia menyatakan terheran-heran karena ada orang yang dipinjami buku, mengembalikan buku itu dengan utuh. "Baru sekarang saya temukan orang yang saya pinjami buku mengembalikannya dengan utuh," katanya. Dia bilang, hanya orang bodoh yang meminjamkan buku kepada orang lain, dan orang yang mengembalikan buku pinjaman pun adalah orang gila.Hidupnya yang selalu ceria diwarnai canda memberi andil besar atas usianya yang lanjut (97 tahun). Padahal dia tak senang olah raga, termasuk olah raga pagi. Becanda, dia bilang: ''Pagi-pagi itu 'kan hawanya segar. Kok dipakai buat berkeringat, lebih baik dipakai untuk tidur.''

Sumber : www.tokohindonesia.com

Read more!

PSIKOLOGI DAN LINGKARAN KEKUASAAN [1]:

Pengategorian Status Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Oleh: Audifax[1]

Di Indonesia, ranah psikologi tampaknya dibedakan bagi dua jenis mahluk, yaitu Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Pembagian ini, seolah menyiratkan kasta kemampuan. Lantas menjadi tidak relevan ketika kasta itu dikaitkan dengan praktikalitas yang diistilahkan sebagai praktik psikologi, karena ketika dirunut pada aturannya, pembagian itu sama sekali tak mengarakterisasi, apalagi mencerminkan perbedaan kualitas kemampuan. Ada sesuatu yang luput dari cermatan di sini, bahwa di tengah percepatan perkembangan dunia beserta kultur di masyarakat, segala bentuk hirarki, sentralisasi, kategori justru akan mematikan. Diakui atau tidak, saat ini masyarakat justru secara radikal melepaskan diri dari keterpusatan dan menyebar, mengindividu, mendiferensiasi. Jika dulu konsumsi cenderung mass consumption dan oleh karenanya menjadi masuk akal mass production (yang memungkin adanya hirarki, sentralisasi, kategori) saat ini pemasaran justru masuk ke ceruk-ceruk pasar (niche). Inilah yang agaknya tak tertangkap oleh siapapun yang mengategorikan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
Agar lebih jelas, pada awal analisis akan saya paparkan terlebih dahulu kutipan dari buku kode etik psikologi Indonesia berkaitan dengan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Setidaknya ada tiga pasal penting berkaitan dengan pembedaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah para lulusan perguruan tinggi dan universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan DAPAT MEMBERIKAN JASA PSIKOLOGI TETAPI TIDAK BERHAK DAN TIDAK BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PRAKTIK PSIKOLOGI DI INDONESIA[2].
PSIKOLOG adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan BERHAK DAN BERWENANG untuk melakukan PRAKTIK PSIKOLOGI di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai PSIKOLOG. Untuk melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong kriteria ini DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai ketentuan yang berlaku[3].
PRAKTIK PSIKOLOGI adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan DIAGNOSIS, PROGNOSIS, KONSELING, dan PSIKOTERAPI[4].
Ada beberapa pertanyaan yang menurut saya mendasar pada pasal-pasal di atas, terutama berkaitan dengan pembagian “jatah” antara Ilmuwan Psikologi dan Psikolog (menarik juga ketika ilmu itu dikastakan, saya kok tidak melihat pembagian itu pada bidang kedokteran, menjadi ilmuwan kedokteran dan dokter misalnya). Menjadi pertanyaan pula lantas apa gunanya kuliah psikologi empat tahun kalau masih dibatasi wewenangnya? Lalu apakah memang ada peningkatan kemampuan secara signifikan setelah mengikuti pelatihan diagnostik atau program profesi? Makin kacau lagi ketika program profesi psikologi digabung dengan S-2; bagaimana masalah profesi dan mastery bisa dicampuradukkan?
Dalam analisis saya, pembagian tersebut lebih merupakan upaya memapankan kelompok tertentu karena sebenarnya tidak terlihat alur logika bahwa psikolog lebih tinggi kemampuannya dibanding ilmuwan psikologi sehingga patut diberi wewenang lebih. Bagaimana misalnya peraturan itu bisa menjelaskan kompetensi ‘ilmuwan psikologi’ seperti Andrias Harefa yang dalam training-training dan tulisan-tulisannya, sangat dekat dengan psikologi pendidikan dan industri/organisasi; Frans Mardi Hartanto, yang tidak bisa masuk Himpsi (karena S-1 nya Teknik) tapi justru diakui di asosiasi psikologi luar negeri seperti APA (American Psychological Association); atau Goenawan Muhammad dengan tulisan dan analisisnya yang tajam; bagaimana pula dengan tayangan-tayangan interaktif seperti Dunia Lain, Pemburu Hantu dan sejenisnya? Bahkan seorang Deddy Corbuz! ier atau Romy Rafael pun menunjukkan tingkat kepiawaian yang luar biasa dalam bidang psikologi. Bukankah apa yang mereka lakukan juga mengandung unsur diagnosis, prognosis, konseling dan psikoterapi[5]? Apakah peraturan dalam Kode Etik Psikologi itu lantas bisa melegitimasi dan menempatkan para psikolog pada posisi yang lebih dari nama-nama di atas? Apakah peraturan itu l! antas bisa menafikkan begitu saja kenyataan bahwa para “klien” benar-benar merasakan manfaat dari nama-nama itu? (bahkan maaf, mungkin para klien inipun lebih percaya pada nama-nama itu dibanding psikolog bersertifikat yang baru saja lulus program profesi dan belum pernah menangani kasus riil satupun).
Apa yang bisa kita tangkap di sini? Masyarakat sudah tak percaya lagi pada narasi-narasi besar dan masuk pada narasi-narasi kecil yang berdasarkan pengalaman. Inilah titik krusial yang terkesan menjadi kelemahan dari pengategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog beserta segala wewenangnya. Masalah wewenang itu sendiri, kemudian justru menjadi sangat lemah karena bagaimanapun, untuk masalah penggunaan ‘jasa psikologi’; fakta di lapangan yang membuktikan, bukan legitimasi dari otoritas. Psikologi, saya coba ingatkan lagi akar katanya; yaitu ilmu (logos) tentang jiwa (psike). Saya rasa ilmuwan-ilmuwan psikologi yang saya sebutkan tadi telah menunjukkan suatu langkah berani dalam bermain-main dengan psike; namun jangan lupa, mereka juga menunjukkan kepiawaian yang tinggi dalam pemahaman, penguasaan psike. Ya, inilah yang justru men! jadi kelemahan Psikolog yang memahami psike hanya sebatas apa yang dijelaskan dalam manual-manual interpretasi alat tes. Sementara mereka sendiri mungkin tak pernah menyadari seberapa akurat alat tes tersebut mengungkap psike.
Ini persis seperti yang dijelaskan oleh Jean Francois-Lyotard mengenai keruntuhan narasi-narasi besar dan munculnya narasi-narasi kecil. Imbas dari spirit di jaman posmodernisme. Pada jaman ini, kode etik adalah sebuah narasi besar yang memiliki potensi untuk berbenturan dan diruntuhkan oleh narasi-narasi kecil yang berbasis pengalaman riil.
Kode etik yang membedakan wewenang Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini akan makin terasa kontradiksinya (sekaligus kelemahannya) dengan mencermati bunyi pasal 9:
Asas kesediaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian jasa/praktik psikologi[6].
Bagaimana jika klien menolak seorang psikolog dan minta dilayani oleh Ilmuwan Psikologi, termasuk dalam hal prognosis, diagnosis, konseling, dan psikoterapi? Pasal yang membagi Ilmuwan psikologi/Psikolog dan pasal mengenai asas kesediaan yang terkesan kontradiktif ini terlihat menafikkan kemungkinan bahwa klien bisa jadi akan memilih Ilmuwan Psikologi ketimbang Psikolog. Seolah, klien sudah pasti merasa puas kalau yang melayani Psikolog dan memiliki kemungkinan tidak puas kalau yang menangani Ilmuwan Psikologi. Sebuah legitimasi yang terkesan hegemonik. Ini akan makin jelas terasa ketika kita memperhatikan penjelasan pasal 9 pada Bab Pedoman Pelaksanaan. Jika kita tak cermat dalam melihat pasal-pasal itu berikut implikasinya; maka kita akan masuk begitu saja dalam sebuah lingkaran kekuasaan.
Saya mencoba menghadirkan pembahasan mengenai kuasa dalam pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini. Salah satu tokoh yang lantang berbicara mengenai kekuasaan adalah Michel Foucault, yang mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna “kepemilikan”, atau keadaan di mana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam[7]. Dalam hal ini, HIMPSI adalah bagian dari sebuah institusi kekuasaan yang bertugas untuk memapankan kelompok orang-orang tertentu, terutama dari kemungkinan terlindas oleh persaingan dari orang-orang di luar kelompok tersebut.
Menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada di mana-mana; tetapi bukan berarti mencakup semua; melainkan kekuasaan datang dari mana-mana. Begitu merasuknya kekuasaan dalam kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain. Kita dapat secara lebih cermat melihat pada fenomena pembagian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini.
Selain Foucault, saya akan coba menghadirkan pemikiran Pierre Bourdieu, yang menjelaskan kekuasaan dari sisi-sisi tertentu yang belum terjelaskan oleh pemikiran Foucault. Menurut Bourdieu, konsep kekuasaan selalu berada dan beroperasi pada suatu arena (field). Dalam arena tersebut, terdapat pelaku-pelaku yang memiliki modal, baik itu ekonomik, simbolik, maupun kultural. Predikat sebagai Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog adalah modal simbolik. Modal inilah yang menentukan siapa pada posisi ordinat dan siapa berada di posisi sub-ordinat. Dalam pola kepemilikan modal di arena psikologi ini, jelas Ilmuwan Psikologi berada di posisi sub-ordinat dan psikolog berada pada posisi ordinat. Padahal penguasaan modal itu sendiri, sama sekali tak ada hubungannya dengan tinggi-rendahnya kualitas penguasaan psikologi. Namun, bisa jadi tak ban! yak orang yang secara cermat menyadari ini.
Modal simbolik adalah suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, sehingga menghasilkan efek yang tepat sepanjang dan hanya sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk modal ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya, sumber-sumber efeknya juga[9]. Sistem-sistem simbolik merupakan instrumen pengetahuan dan dominasi, yang memungkinkan terjadinya sebuah konsensus di dalam suatu komunitas yang terkait dengan signifikansi dunia sosial; sistem ini juga memberikan kontribusi terhadap kelangsungan reproduksi tatanan sosial[10]. Inilah kunci yang per! tama kali harus dipahami oleh orang-orang yang ingin menggugat kekuasaan. Konsensus yang menempatkan pihak dalam suatu komunitas dalam posisi menguasai-terkuasai, kerap beroperasi secara halus sehingga tak disadari sama sekali oleh anggota komunitas. Bahkan bisa jadi konsensus ini telah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun.
Kita dapat melihat bahwa mahasiswa yang menekuni keilmuan psikologi, berada dalam rantai kekuasaan ini. Kekuasaan yang dibangun melalui berbagai nilai yang ditradisi oleh institusi, serta dimainkan melalui retorika pengetahuan. Kekuasaan ini tak hanya terjadi pada suatu masa, tetapi juga antar masa. Kekuasaan bahkan mungkin hidup turun temurun. Seorang mahasiswa belajar psikologi agar kelak dapat digunakan untuk menguasai orang lain, namun dirinya juga terkuasai oleh para dosen atau institusi fakultas melalui berbagai eksploitasi yang dilakukannya. Secara lebih luas, operasi kekuasaan seperti ini juga tampak pada mereka yang percaya begitu saja pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas terhadap kebenaran suatu pengetahuan, seperti agama, orang tua, aparat penegak kebenaran, dan lain-lain. Orang sudah kehilangan kebebasannya sebagai manusia ketika berhadapan deng! an pemegang-pemegang kebenaran itu. Intinya bukan pada adanya pihak yang mendominasi dan terdominasi, karena hanya ada satu pihak yaitu yang terdominasi. Kekuasaan terjadi ketika tidak adanya kesadaran diri telah terkuasai dan ketidakjelian melihat pihak yang diuntungkan dalam situasi itu.
Bourdieu melihat bahwa kekuasaan tak lepas dari habitus yang memiliki keterhubungan erat dengan ‘modal’. Sebagian habitus itu berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan sebentuk modal (simbolik) di dalam dan dari mereka sendiri[11]. Habitus adalah konsep kunci yang digunakan Bourdieu untuk tidak terjebak dalam oposisi antara struktur dan agen. Istilah habitus sendiri, sulit didefinisikan secara tepat dan memiliki intensi keragaman makna. Namun, justru di situlah kekuatan habitus dalam menjelaskan dunia keseharian (ordinary world). Bourdieu melihat relasi antara individu dan dunia sosial orang di luar individu sebagai suatu mutual possesion (“the body is in the social world but the social world is in the body” - Bourdieu, 1982). Di sini habitus secara mendasar merujuk pada menyatunya sensibilitas yang membuat masuk akal suatu perilaku terstruktur sekaligus mengalami improvisasi. Sebagai analog! i, gambaran ini mirip dengan musisi yang melakukan “jam session” [12].
Pandangan yang menurut saya dapat melengkapi hadir pada pemikiran Foucault ketika ia mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan[13]. Hubungan dan perbedaan dalam hubungan menjadi salah satu faktor penting munculnya kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan dirinya berbeda dengan orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Kita dapat merujuk pada munculnya kekuasaan dalam institusi agama yang melarang pernikahan antar agama. Ini bisa terjadi hanya ketika kita menempatkan adanya perbedaan dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi suatu pembedaan antara ilmuwan psikologi dan psikolog yang dilegitimasi melalui peraturan dan bukan kenyataan kompetensi di lapangan. Ketika terjadi suatu situasi di mana seorang pengguna sebenarnya lebih cocok dengan Ilmuwan Psikologi, namun di sisi lain ia bimbang atau kesulitan menggunakan jasa Ilmuwan Psikologi karena alas! an legitimasi, maka pada posisi ini jelas Psikolog diuntungkan oleh legitimasi. Win by rule, not competition; legitimate by symbol not competency!
Ini menunjukkan bahwa sebuah kelas menjadi dominan dan mampu meyakinkan dominasinya pada suatu masyarakat, karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Dominasi, dengan demikian bukan merupakan efek dari sejumlah taktik prarencana aktual yang beroperasi dengan strategi-strategi untuk meyakinkan dominasinya; karena dominasi tersebut mampu mereproduksi dirinya sendiri. Namun, di antara strategi-strategi yang membaur, mereproduksi, menggandakan, dan menonjolkan relasi-relasi kekuatan yang ada, dan kelas yang kemudian menyadari bahwa dirinya dalam posisi memerintah, terdapat suatu relasi produksi yang timbal balik[14]. Dalam konteks psikologi, kekuasaan sebenarnya beroperasi pada titik-titik seperti: Himpsi, Institusi Pendidikan, klien hingga mereka yang memperoleh “modal simbolik” dari pengategorian Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Ketika para pelaku psikologi atau pengguna menerima dan memercayai segala sesuatu “begitu saja”, maka seketika itulah rantai kekuasaan beroperasi.
Menurut Bourdieu, ini bisa terjadi karena setiap masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama[15]. Psikologi Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari pelaku dan pengguna. Pihak-pihak tertentu yang memiliki penguasaan modal (baik ekonomik, simbolik, maupun kultural) tampaknya berusaha mengonstruksi suatu struktur tertentu untuk menutupi realitas.
Pada titik ini, bisa dicermati adanya kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan menyembunyikan diri melalui budaya. Kelompok terdominasi adalah kumpulan individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.
Kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan: psikologi, sosiologi, ekonomi, kriminologi, dan jurnalisme. Semua ranah pemahaman tersebut memproduksi hasil tertentu dan menghasilkan kriteria keilmiahan yang kemudian menjadi ukuran kebenaran, sehingga pada gilirannya membentuk dan menguasai individu. Dengan psikologinya, seorang psikolog bisa mendefinisikan seseorang sebagai sosok matang, kekanak-kanakkan, menyimpang, abnormal, dll. Padahal, tidak semua hal bisa dijelaskan oleh psikologi. Lebih ironis lagi jika kita temukan kenyataan bahwa tidak semua psikolog mengerti psikologi. Keadaan menjadi bertambah runyam ketika orang-orang yang tidak mengerti psikologi ini malang melintang menilai, menginterpretasi dan mengategorikan orang. Silang sengkarut ini tampak dari perubahan pengategorian manusia dalam psikologi. Dalam studi Foucault misalnya, ditemukan bahwa orang g! ila mengalami pergeseran kategori dari “orang tak bermoral” menjadi “orang yang mengalami gangguan jiwa”. Kita juga dapat mencermati bahwa sekian tahun lalu gay digolongkan sebagai abnormal, sementara sekarang gay digolongkan sama normalnya dengan mereka yang heteroseksual. Lantas, dari sini kita bisa menarik sesuatu. Seberapa benar sebuah pengategorian? Bagaimana implikasinya bagi kemanusiawian? Apa tanggung jawab yang bisa diberikan pada mereka yang dulu terlanjur dikategorikan tak normal? Apakah pernah memperhitungkan perlakuan masyarakat terhadap seseorang yang dikategorikan tak normal? Lalu apa kenormalan itu? Bagaimana orang-orang yang mengategorikan normal-tak normal itu berbicara mengenai kenormalan dirinya di hdapan figur-figur seperti: Beethoven, Einstein, Leonardo Da Vinci, Michelangelo atau Nietszche? Kekacauan pengategorian sebenarnya terjadi ketika orang percaya begitu saja pada sesuatu atau menempatkannya sebagai dogma. Sejarah membuktikan itu ketika gereja pernah menganggap bahwa bumi ini flat dan menghukum mereka yang berpendapat bahwa bumi ini bulat.
Bagaimana beroperasinya kekuasaan, sehingga sesuatu bisa diterima “begitu saja” atau ditempatkan sebagai dogma? Bagi Foucault, kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu! [16]. Gereja yang mengatak bahwa bumi flat,memiliki kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri ditempatkan sebagai sesuatu yang bernilai keagungan sehingga memiliki kuasa. Hal yang sama sebenarnya terjadi dalam pengategorian Ilmuwan Psik! ologi dan Psikolog.
Kekuasaan manifest dalam Habitus yang merepresentasikan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan suatu ‘prisma kemungkinan persepsi’, yang menempatkan bermacam-macam disposisi sosial yang, menurut logika utamanya, memperhitungkan klasifikasi budaya dari dunia sosial[17]. Habitus sebagai suatu bangunan disposisi bersama, kategori-kategori klasifikasi dan skema-skema generatif, jika tak ada lagi yang lain, merupakan sejarah kolektif yang dialami sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-granted), kebutuhan aksiomatik terhadap realitas objektif[18]. Inilah sebabnya tak banyak orang bisa melihat kekuasaan, bahkan orang kerap tak menyadari bahwa dirinya sudah jatuh dalam jejaring kekuasaan.
Kekuasaan baru bisa dilihat ketika ada kesadaran akan akibat dari posisi yang didominasi. Foucault memberi ilustrasi psikiatri yang mendefinisikan konsepsi modern tantang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktik penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktik-praktik baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau adanya pengasingan untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi. Mereka yang dianggap menderita alienasi mental tidak bisa lagi tinggal di keluarga. Dalam kasus seperti ini, sulit untuk menunjuk siapakah yang mengakibatkan posisi pengasingan itu. Siapa yang terlibat di dalamnya? Tidak hanya psikiater, namun juga ilmu kedokteran, penguasa politik, pandangan masyarakat, kenyamanan hidup keluarga, hubungan politik dan ilmu.
Kekuasaan pada banyak hal sebenarnya bertujuan untuk menghindari ketakstabilan posisi atau ancaman yang datang untuk menggoyang suatu posisi. Jika anda adalah seorang Psikolog dan memiliki lisensi beserta konsekuensi hak yang terberikan sesuai kode etik psikologi bikinan Himpsi itu, maka posisi anda dalam “rimba psikologi Indionesia” akan termapankan dan tak perlu takut oleh ancaman dari “pendekar-pendekar” yang tak memiliki lisensi. Sementara, para “pendekar-pendekar” itu, tak selalu sepaham dengan Himpsi, terutama berkaitan dengan tata cara dan penggunaan alat yang menurut Himpsi sudah dibakukan. Sementara di sisi lain, Masyarakat, yang dalam hal ini banyak bertindak sebagai pengguna atau klien bisa jadi hanya akan melihat dan memercayai begitu saja mereka yang memegang lisensi. Tak peduli seberapa kemampuan mereka dan bagaimana sejarah perolehan lisensi itu. Di sini! lah bahaya implikasi kekuasan itu. Pernahkah terpikir untuk memberi kompensasi pada para gay yang dulu pernah dikategorikan tidak normal? Pernahkah terpikir bagaimana perlakuan masyarakat ketika mereka dikategorikan tak normal? Ini tak hanya terjadi pada kasus gay, namun juga siswa-siswi yang setiap awal tahun ajaran diharuskan mengikuti psikotes. Sementara, jika dicermati banyak sekali kelemahan dari sebuah psikotes karena validasinya yang tak pernah diungkapkan secara jelas. Pun ke-”aus”-an akurasi karena ketidakmampuan tes itu mengantisipasi percepatan perkembangan jaman, luput dari cermatan.
Di sinilah saya bisa melihat bahwa dalam banyak hal, berbagai peraturan, atau kode etik itu sebenarnya hanya bertujuan untuk “menormalisir” agar situasi tetap terjaga. Mereka yang memainkan aturan-aturan ini, tak lebih dari orang-orang yang mempertahankan status quo. Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang ujung-ujungnya adalah pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai b! entuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya.
Ada tiga hal penting dalam komponen kekuasaan/pengetahuan, yaitu Disiplin Ilmu, Institusi, dan Tokoh. Ketiganya berdialektika dalam sebuah sistem regulasi yang mengatur dan menormalisir. Mekanisme kekuasaan berjalan melaui sistem regulasi ini. Agar dapat berjalan dengan baik, maka pengawasan (surveillance) harus dilakukan. Dalam suatu sistem sosial, pengawasan dilakukan oleh aparat. Foucault sebenarnya memberi penekanan (salah satunya) pada pengawasan sebagai upaya menstabilkan atau memapankan suatu konstruksi kebenaran. Konsep panoptikon adalah salah satu cermatan yang dia kemukakan. Ketiganya adalah pihak-pihak yang menguasai modal simbolik, kultural, maupun ekonomi. Modal inilah yang berguna untuk memapankan diri, meletakkan pihak-pihak tertentu di atas pihak lain. Menentukan mana yang ordinat dan sub-ordinat, menentukan ma! na yang mendominasi dan terdominasi.
Menurut Bourdieu, pada satu sisi masyarakat distrukturkan oleh pembedaan distribusi dan penguasaan modal. Pada sisi lain, individu-individu juga berjuang untuk memperbesar modal yang dimiliki. Hasil yang dicapai dalam pembesaran dan diversifikasi modal ini menentukan posisi dan status di dalam masyarakat (social trajectory dan class distinction). Modal oleh Bourdieu juga dilihat sebagai basis dominasi (meskipun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pelaku-pelaku)[19]. Dalam pertarungan di arena ini, apa yang luput terjelaskan oleh Bourdieu, ada dalam paparan Foucault yaitu keberadaan aparat. Pertarungan dalam arena menjadi semakin berat ketika penguasa modal menempatkan “aparat” untuk mengatur pertarungan itu.
Makna aparat secara esensial adalah strategi, artinya hal ini mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu[20].
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat ini, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen. Kegiatan-kegiatan yang diatasnamakan kelimiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya[21].
Penelitian historis Foucault terhadap kegilaan misalnya, adalah serangan Foucault terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kegilaan bagi Foucault bukan merupakan sesuatu yang secara kodrati adalah penyakit. Penelitiannya membuktikan bahwa pada suatu masa kegilaan bukan dikonsepsikan sebagai penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ke tingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diiisolasi, bukan disembuhkan. Kategorisasi kegilaan ini bukan kesalahan yang kemudian dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik sebagai cacat moral maupun penyakit mental, tak lebih dari sekedar konstruksi sosial. Konstruksi berdasarkan prinsip penataan hal-ihwal yang membuat beberapa hal mungkin lainnya tidak. Prinsip penataan yang oleh Foucault diberi julukan teknis: episteme[22].
Episteme tidak bisa dijamah. Kerjanya sangat halus menguasai pola pikir orang pada satu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Kegilaan misalnya, saat ini didominasi oleh disiplin psikologi. Disiplin yang didapatkan melalui institusi yang namanya universitas. Dan di universitas jualah mahasiswa berkenalan dengan tokoh-tokoh psikologi seperti Freud, Jung, Adler, dan lain sebagainya. Orang menggunakan kombinasi ketiganya guna menghasilkan satu mesin kebenaran untuk berbicara mengenai kegilaan. Di luar itu, semua adalah omong kosong yang menyesatkan. Hakim di pengadilan tidak akan memanggil dukun untuk dimintai keterangannya tentang kesehatan menta seorang terdakwa. Haki! m pasti akan memanggil ahli psikologi jebolan universitas yang sudah banyak mengunyah jajanan intelektual dari beraneka ragam tokoh psikologi[23].
Saya akan hadirkan satu contoh yang dialami teman saya. Teman saya itu, sebut saja Wawan (nama samaran) pernah diminta oleh seorang dosen, sebut saja Doraemon (nama samaran) untuk memberi testimoni di depan kelas Psikologi Dalam. Dosen Doraemon ini beralasan karena Wawan dulu pernah didiagnosis Schizophrenia. Secara umum sebenarnya tidak ada yang salah dalam diri Wawan, bahkan pemikiran-pemikirannya tampak cermat. Permasalahannya justru terletak pada orang-orang di sekelilingnya yang tidak semua mampu menangkap apa yang dipikirkan Wawan. Perilaku si dosen Doraemon yang meminta Wawan untuk memberi testimoni (atas nama pengetahuan pikirnya) adalah cerminan bagaimana pengetahuan memiliki kekuasaan untuk menempatkan seseorang dalam posisi tertindas. Si dosen ini, yang menurut saya tidak memiliki kompetensi untuk mengajar ‘psikologi dalam’ (karena sejauh pengenalan saya ia ! hanya pernah menggunakan teori Lacan dalam tesisnya, itupun parsial karena sifat penerapannya yang direduksi sebatas confirmatory pada sebuah penelitian eksperimen kuantitatif dan bukan pewacanaan) tapi oleh pihak Fakultas ia didapuk mengajar mata kuliah Psikologi Dalam. Di sinilah ia memperoleh modal simbolik yang melegitimasi. Pengetahuan yang kurang, bisa ditutup dengan penguasaan modal simbolik.
Pada titik ini, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Berbekal pengetahuan psikologi, seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Bukan hanya itu. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Pendapat ahli bahwa kegilaan adalah penyakit mental menjebloskan para orang gila ke dalam asilum. Pendapat ahli bahwa homoseksual adalah sebuah kelainan seksual melahirkan kebijakan yang melarang pernikahan sesama jenis. Pendapat ahli yang mengatakan bahwa masturbasi pada anak dapat menimbulkan kebodohan berujung pada pengawasan super ketat yang digelar mulai dari rumah sampai sekolah. Semuanya itu adalah permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan menghasilkan tubuh-tubuh yang taat. Seb! uah permainan yang mematri perilaku badani yang sehat, normal, dan baik[24].
Berdasar pengertian ini, memungkinkan untuk memahami baik itu struktur sosial dalam suatu ranah maupun berbagai posisi serta perbedaan besar modal yang digenggam oleh pihak-pihak yang berada pada posisi tersebut. Beranjak dari pemikiran ini, Hirarki kelas sosial lebih jauh bisa dipahami sebagai ruang multidimensi, dibanding linearitas sebab akibat yang sederhana[25]. Pengetahuan adalah modal. Namun, ketika pengetahuan ini berada di tangan aparat, maka nilai dari pengetahuan ini sebagai modal dapat dipermainkan. Orang yang memiliki pengetahuan rendah bisa mendapat legitimasi, sementara mereka yang memiliki kemampuan tinggi bisa dihalangi untuk memperoleh legitimasi.
Ini karena modal bersifat convertible atau dapat dipertukarkan satu sama lain. Konversi paling penuh kuasa adalah konversi dari berbagai modal ke modal simbolis, karena di dalam bentuknya yang berbeda dipersepsikan dan diakui sebagai absah (legitimate). Dalam konsteks ini, legitimasi adalah salah satu unsur penting dari modal simbolis. Dipandang sebagai seseorang dari kelas, status dan prestise tertentu, adalah pasti diterima sebagai absah. Posisi semacam itu memberikan kuasa pada seseorang atau suatu kelompok untuk memberi label, kuasa untuk merepresentasi akal sehat (common sense) dan di atas segalanya adalah kuasa untuk menciptakan ‘versi resmi dunia sosial’[26].
Foucault melihat bahwa objektivitas adalah ranah investigasi. Dalam investigasi, orang selalu mencari dan tak pernah puas pada finalitas definisi. Di sini Foucault mencoba membuat model yang membuat orang mengerti dominasi atau teknologi kekuasaan yang luput dari perhatian Marxisme klasik. Teknologi kekuasaan, seperti Panopticon atau sistem disiplin, dikomposisi oleh konglomerasi diskursus dan praktek, menit demi menit ditata untuk mengendalikan tubuh dan pikiran. Level pengertian bisa didekati oleh rujukan pada subjek atau bentuk kesadaran, tetapi lebih pada melalui analisis yang cermat akan ranah objektivitas. Melalui Bourdieu, kita bisa belajar banyak untuk memetakan arena. Mengidentifikasi siapa pemilik modal dan bagaimana mereka mengoperasikan modalnya. Apa yang ditawarkan oleh Foucault dan Bourdieu, dapat menjadi bekal b! agi kita untuk lebih cermat melihat realitas dan tidak bersikap taken-for-granted.
Refleksi
Pada pembahasan mengenai kategorisasi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog ini, ada setidaknya dua hal yang bisa kita refleksikan untuk sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan:
§ Pertama, sudah saatnya kita dapat melihat secara kritis dan tidak menempatkan segala sesuatu secara taken-for-granted. Termasuk dalam melihat badan-badan pemegang otorita seperti Himpsi. Retorika mengenai keabsahan, standarisasi, kualifikasi yang dilekatkan pada otoritas semacam Himpsi hendaknya kita telaah lagi substansinya; jika kita tak mau membiarkan diri makin terhanyut dalam dramatisasi kekuasaan yang berorientasi pada kemapanan pihak tertentu. Jika mau berbicara pro! fesi dan profesionalisme maka kualifikasi, standarisasi dan keabsahan lebih ditentukan oleh diri sendiri ketimbang segala badan yang mengklaim dirinya punya kuasa.
§ Kedua, pembatasan-pembatasan itu sebenarnya tak pernah dekat dengan upaya menjaga kualitas atau layanan, namun justru memasung potensi-potensi yang ada karena tak memiliki sertifikasi. Pembatasan itu juga membuat mereka yang tak berpotensi bisa berlindung di balik sertifikat untuk mendongkrak harga dirinya. Suatu kemampuan absurd dan simbolis, dapat dilekatkan pada yang tak berkemampuan dengan adanya sertifikasi tersebut. Pada perkembangan globalisasi yang cenderung meniadakan sekat-sekat kelas, jelas ini berpotens! i membuat tenaga-tenaga potensial dari negeri sendiri terpinggirkan, sementara yang bersertifikat tapi tak memiliki kemampuan juga akan tetap kalah dalam kompetisi dengan tenaga asing.
Dengan menerima begitu saja segala finalitas pendefinisian, maka pertumbuhan kita akan mati. Kita akan tak pernah berpusat pada pengembangan potensi melainkan menenggelamkan diri dalam arus birokrasi. Implikasi dari semua ini, psikologi dan semua insan di dalamnya, akan mati dalam birokrasi.
Semoga menjadi cermatan!
© Audifax – 10 Juni 2005



Catatan-catatan:
[1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[2] Kode Etik Psikologi Indonesia – Pedoman pelaksanaan Kode etik psikologi Indonesia; (2003); HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia); Pasal 1 butir a; hal. 8.
[3] Ibid; Pasal 1 butir b; hal. 8-9
[4] Ibid; Pasal 1 butir d; hal. 10
[5] Frans mungkin telah banyak melakukan prognosis, diagnosis, bahkan konseling dalam berbagai perusahaan. Yang setahu saya dia telah memiliki teorinya sendiri tentang sumber daya manusia yang (kalau tidak salah) sering disebutnya “manusia berdaya”; Harefa saya rasa sebenarnya j! uga telah melakukan modifikasi perilaku ketika dia melakukan pelatihan-pelatihan motivasi atau perubahan kinerja;. Atau bagaimana dengan Deddy Corbuzier dan Romy Rafael yang bermain-main dengan alam bawah sadar manusia? Atau bagaimana para pakar dunia mistis bermain-main dengan psike melalui para relawan yang bersedia tubuhnya menjadi mediasi?
[6] Kode Etik Psikologi Indonesia op cit; Pasal 9 hal.15
[7] Eriyanto (2001) Analisis Wacana – pengantar analisis teks media; Yogyakarta : LKIS; hal. 65-66
[8] Haryatmoko; (2003); Etika Politik dan Kekuasaan; Jakarta: Penerbit Kompas; hal. 217
[9] Cheleen Mahar, Richard Harker, Chris Wilkes; (1995); (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik; diedit oleh Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes; saduran Pipit Maizier; Yogyakarta: Jalasutra; hal. 6
[10] Ibid
[11] Ibid; hal. 15
[12] Richard Light; The Body in Social World and the Social World in the body: Applying Bourdieu’s Work to Analyses of Physical Activity in Schools; online documents:http://www.aare.edu.au/01pap/lig01450.htm
[13] Haryatmoko; (2003); op cit; hal. 218
[14] Michel Foucault; (2002); Power/Knowledge-wacana Kuasa/pengetahuan; saduran Yudi Santosa; Yogyakarta: Bentang Budaya; hal. 251
[15] Muridan S. Widjojo; (2003); Strukturalisme Konstruktivis, Pierre Bourdieu dan kajian sosial budaya; dalam Perancis dan Kita – Strkturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa; penyunting Irzanti Sutanto, Ari Anggari Harapan; Jakarta : Wedatama Widya Sastra; hal. 49
[16] Eriyanto (2001); Ibid
[17] David Chaney; (2004); Lifestyles-Sebuah Pengantar Komprehensif; saduran Nuraeni; Yogyakarta: Jalasutra;
[18] Ibid. 114
[19] Widjojo; (2003); op cit; hal. 44
[20] Michel Foucault; (2002); op.cit; hal. 251
[21] Eriyanto (2001); op cit; hal. 76-77
[22] Donny Gahral Adian; (2002) Berfilsafat tanpa sabuk pengaman dalam pengantar buku Michel Foucault-Pengetahuan dan Metode-karya-karya penting Foucault; saduran Arief; Yogyakarta: Jalasutra, hal. 22
[23] Adian; (2002) op.cit, hal. 23
[24] Ibid, hal. 23-24
[25] Value and Capital in Bourdieu and Marx; online documents: http://www.art.man.a.uk/SPANISH/staff/Writings/capital.html
[26] Widjojo; (2003); op.cit; hal. 45

Sumber : http://himpsijaya.org

Read more!

Tragedi A.S. : Keunggulan Kreativitas atas Kecerdasan

Oleh : Sarlito Wirawan Sarwono
Mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia


Tanggal 11 September 2001, tiba-tiba New York dan Washiington DC jadi neraka. Ratusan, atau mungkin ribuan, orang mati sia-sia setelah tiga pesawat terbang komersial AS ditabrakkan ke dua menara WTC (World Trade Centre) di New York dan Pentagon di Washington DC (sebuah pesawat terbang lagi jatuh di Pensylvania sebelum bisa ditabrakkan ke White House).

Walaupun ada sebagian orang yang senang dengan kejadian itu, namun pada umumnya seluruh dunia, temasuk negara-negara Arab dan Rusia, mengutuknya. Presiden Bush sendiri menyatakan bahwa terorisme ini bukan hanya ditujukan kepada Amerika Serikat, tetapi juga kepada seluruh umat manusia yang cinta kebebasan dan demokrasi. Sedangkan kita sendiri, sebagai manusia Indonesia yang percaya pada Peri Kemanusian, tentunya ikut berduka.

***

Pada saat tulisan ini dibuat, FBI sudah menemukan beberapa bukti yang mulai mengarah kepada identifikasi pelaku terror tersebut. Tetapi masih sangat terlalu awal untuk menuduh seseorang atau suatu golongan tertentu sebagai pelakunya. Namun yang jelas, para pelaku itu pastilah golongan yang sangat membenci bangsa Amerika Serikat. Bukan hanya membenci presiden, tentara atau intelijen Amerika (CIA), tetapi membenci seluruh orang Amerika, termasuk orang-orang sipil, perempuan dan bayi-bayi yang terbunuh dalam tragedi di atas. Pendeknya, para pelaku terror itu adalah musuh bangsa AS.

Musuh bangsa AS ini memang banyak sekali. Demikianlah yang selalu kita dengar dari para pakar dan pengamat politik internasional. Mulai dari Muamar Khadafi dan Saddam Husen sampai Osama bin Laden. Mulai dari sebagian bangsa Arab, sampai ke bangsa Rusia. Tetapi tidak satu pun yang se-adi daya AS dalam segala bidang: ilmu pengetahuan dan teknologi, persenjataan, ekonomi dan keuangan serta politik. Dulu Uni Sovyet merupakan saingan terkuat, sehingga selama puluhan tahun pasca Perang Dunia II, dunia berada dalam kondisi "perang dingin" antara Blok Barat (AS dan kawan-kawan) dan Blok Timur (Rusia dan kawan-kawan). Kedua negara itu sama-sama mampu mengirim orang ke ruang angkasa dan sama-sama punya persenjataan nuklir yang tercanggih. Tetapi setelah kehancuran Uni Sovyet, maka AS merupakan negara terunggul satu-satunya di dunia ini.

Itulah sebabnya banyak orang terperangah dan tidak mengerti, bagaimana mungkin sebuah negara yang se-adi daya AS sampai kecolongan seperti itu. Buat AS sendiri, tragedi ini sangat memalukan, karena itu berarti bahwa seluruh sistem keamanan dan pengamanan negara yang sangat terkenal kecanggihannya itu (dilengkapi dengan pesawat tempur dan kapal-kapal perang modern, sistem radar yang super peka, aparat intelijen yang sangat lihai, sampai sistem pengamanan bandara yang juga luar biasa canggihnya) ternyata dibuat tidak berdaya sama sekali. Di sisi lain, para pelaku terror itu sendiri, hampir-hampir tidak bermodal apa-apa, selain beberapa bilah pisau, keterampilan mempiloti pesawat terbang (yang dipelajari di AS juga), tekad atau ideologi, keberanian, kecerdasan dan … kreativitas.

***

Kreativitas itulah yang ternyata telah menghasilkan operasi terror yang sukses dan hampir sempurna (kecuali sebuah pesawat yang jatuh di Pennsylvania). Kreativitas itulah yang menyebabkan suksesnya unsur dadakan (suatu hal yang sangat penting untuk strategi agresi yang sukses) dan pihak keamanan AS sama sekali tidak bisa mendeteksi persiapan serangan itu yang sangat boleh jadi makan waktu beberapa tahun di bunmi AS sendiri. Kreativitas itulah yang menyebabkan orang AS (termasuk presidennya sampai CIA-nya) sama sekali tidak menduga bahwa serangan tidak datang dari darat (dengan bom bunuh diri), melainkan dari udara. Serangan udara itu pun tidak dengan pesawat-pesawat tempur MIG bikinan Rusia, melainkan menggunakan pesawat komersial milik perusahaan-perusahaan AS sendiri (sehingga tidak tertangkap oleh radar-radar AS yang manapun). Pembajakan pesawat udara juga tidak menggunakan senjata api atau granat, melainkan pisau-pisau kecil yang selama ini memang diijinkan untuk dibawa ke kabin pesawat. Pendeknya, segala yang tidak pernah terpikir oleh otak-otak cerdasnya bangsa AS, itulah yang dilakukan oleh para teroris itu. Itulah yang dinamakan kreativitas.

***

Bangsa AS, walaupun bisa menamakan diri bangsa terpandai di dunia (karena itulah ia bisa mengirimkan orang ke bulan) tetap saja merupakan bangsa yang paling konvensional sedunia (padahal konvensional, atau kebiasaan untuk mengikuti aturan saja, adalah salah satu cirri ketidak-kreativ-an).. Orang Amerika sangat Amerika-sentris. Banyak yang tidak tahu tentang bangsa-bangsa dan negara-negara lain di luar Amerika (dikiranya Indonesia adalah salah satu kota di Bali). Banyak yang mengira bahwa di luar bangsa dan negara Amerika adalah bangsa primitif. Ketika Indonesia dilanda kerusuhan pada bukan Mei 1988 (yang sangat kecil skalanya dibandingkan dengan tragedi AS), seluruh orang AS dihimbau untuk tidak pergi ke Indonesia, karena negara ini dianggap sangat tidak aman. Orang AS juga sangat empiris (ini memang cirri ilmuwan), artinya seluruh pengalaman masa lalu dijadikannya landasan untuk membangun pengetahuan untuk mengantisipasi masa yang akan datang. Konsekuensinya, yang belum pernah terjadi tidak ikut diperhitungkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi.

Di sisi lain, para teroris justru memanfaatkan segala sesuatu yang belum pernah terjadi dan dianggap tidak mungkin terjadi. Inilah cirri kreativitas. Memang, salah satu prasayarat dari kreativitas adalah harus berani melanggar konvensi (kesepakatan, aturan, norma) yang ada. Itulah sebabnya pelukis Picasso bisa sangat terkenal (karena ia berani melukiskan mata di paha dan jari tangan berjumlah enam) dan Colombus bisa menemukan benua Amerika (karena ia berani melawan pendapat umum ketika itu bahwa bumi ini datar, bukan bulat). Nah, para teroris ini pun berani melanggar segala konvensi yang ada, termasuk membunuh orang-orang sipil, wanita dan anak-anak yang tidak berdosa (yang oleh orang AS sangat dilindungi haknya dengan HAM), dan tentu saja temasuk membunuhdirinya sendiri.

Semua pelanggaran konvensi itu dapat dilakukan oleh orang-orang yang sangat membenci Amerika. Sudah barang tentu bukan oleh orang yang permohonan visanya pernah ditolak oleh kedutaan Amerika, tetapi oleh orang-orang yang sejak lahirnya mengalami penderitaan sebagai dampak politik luar negeri Amerika dan hidup di lingkungan yang selalu bermusuhan dengan bangsa itu.

Ironisnya, orang Amerika bukannya tidak kreatif sama sekali. Produser-produser film Hollywood sudah banyak membuat film spektakuler tentang pembajakan pesawat terbang dan Towering Inferno, tetapi justru musuh-musuh AS yang memanfaatkan kreativitas produser-produser film itu, sementara orang-orang AS sendiri hanya menganggapnya sebagai khayalan untuk hiburan belaka. Maka mungkin sudah saatnya bangsa AS (dan mungkin juga seluruh umat manusia) mulai memikirkan kemungkinan film-film Jurasic Parc, Indeoendence Day dan Star Wars juga menjadi kenyataan.

Sumber : http://www.himpsi.org

Read more!

Pengaruh Media Terhadap Kognisi Anak (Mengenai Konsep Teroris)


Oleh : Lukman Nul Hakim
Jamia Millia Islamia University, New Delhi India


Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang.

Kognisi adalah semua proses yang terjadi di fikiran kita yaitu, melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan.

Menurut survey yang dilakukan the Pew Research Center and the Pew Forum on Religion and Public Life, dalam 1 tahun terjadi peningkatan yang signifikan mengenai jumlah orang amerika yang memandang Islam sebagai agama yang memicu kekerasan. Survey dilaksanakan pada bulan maret 2002 dan juli 2003 dengan sample orang amerika dewasa
berjumlah 2.002 orang. Hasilnya menunjukan pada tahun 2002, 25% dari mereka mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memicu kekerasan dan pada tahun 2003 prosentasi ini meningkat tajam menjadi 44%.

Banyak variable yang bisa dikatakan mempengaruhi peningkatan tersebut, dan faktor pengaruh media pasti ada didalamnya. Sejak peristiwa 9/11 sampai dengan saat ini, hampir setiap hari ada pemberitaan ataupun pembahasan mengenai teroris, dan selalu dikaitkan dengan Islam. Jadi sebuah konsekwensi logis jika dalam setahun (2002-2003) terjadi peningkatan yang tajam mengenai impresi Islam terkait dengan kekerasan dan terorisme.

Amerika merupakan salah satu negara yang paling gencar memberikan asosiasi Islam-terorisme melalui media, terutama sejak kejadian 9/11. Padahal kenyataan menurut data biro keamanan departemen luar negeri AS tahun 1990 seperti ditulis oleh Aswar Hasan di Kompas Cyber Media edisi 19 april 2002, dari 233 insiden teroris anti amerika, hanya 8 yang berhubungan dengan arab, dan berdasarkan peta terorisme global, terorisme paling banyak terjadi di Amerika Latin yaitu 162 kasus, di Asia terjadi 96 kasus sedangkan di Timur tengah hanya 63 kasus.

Usaha Amerika menggunakan media sebagai medium pembentukan kognisinya juga bisa dilihat dari kasus penayangan film American Exposure pada tentaranya yang akan berperang. Seperti diwartakan oleh Aswar Hasan :
Film itu berdurasi 40 menit, dengan paparan kisah yang sarat propaganda justifikasi stereotipe aktivis Islam teroris. Film itu menggambarkan bagaimana bom meledak di sana sini, korban berserakan, bersimbah darah, dan di antaranya, ada yang menangisi tubuh korban yang terkena bom. Di tengah hiruk-pikuk ledakan bom, sekelompok kaum muslimin tampak sedang shalat berjamaah. Setelah itu, muncul komentar, "Era Baru fundamentalisme Islam Mujahidin sedang bangkit". "Karena itu, jika mereka bersedia mati untuk Tuhan, mungkin kita perlu datang ke sana, untuk menyelamatkan mereka".
Pada adegan lain, tampil seorang wanita tua bertubuh kecil, berjalan, diikuti komentar sang narator, "...dia bisa saja merupakan teroris. Mereka, patut kita curigai. Jangan mudah percaya, sepanjang dia muslim aktivis. Begitu pula, saat layar memperlihatkan gambar sekelompok anak-anak muslim, maka si narator pun menambahkan, "Mereka boleh jadi merupakan teroris masa depan".
Usai pemutaran film, pertanyaan pertama yang diajukan kepada para prajurit yang menontonnya adalah; "Bagaimana bila kita angkat senjata dan menghancurkan mereka?" Spontan prajurit Amerika yang mengikuti pelatihan itu berkomentar; "Rasanya, kita benar-benar perlu turun tangan menghancurkan mereka. Dengan begitu, dunia ini akan menjadi aman dan damai, dan itu sesuai tugas kita sebagai Polisi Dunia."

Usaha Amerika tersebut merupakan upaya brainwashed dengan membentuk kognisi, persepsi dengan perantara media.

Berbagai kejadian di setiap pelosok dunia diwartakan oleh media, baik itu media televisi, koran, majalah, internet, dan lain sebagainya. Penyajian berita, pilihan angle, pilihan highlight kalimat, akan diterima oleh pembacanya. Kenyataannya menurut Fiske & Taylor (1991), masyarakat memandang bahwa berita dimedia adalah sebuah kebenaran, dalam artian masyarakat umum cenderung menerimanya secara naif, menerima begitu saja berita-berita tersebut tanpa mempertanyakan ke-valid-an berita tersebut.

Berbagai pemberitaaan media memberikan masukan kepada kognisi individu, dan kognisi akan membentuk sikap.

Sikap
Baron (1979); Fishbein and Azjen 1975 (dalam Baron, 1979); Kiesler and Munson 1975 (dalam Baron, 1979) mendefinisikan sikap sebagai kesatuan perasaan (feelings), keyakinan (beliefs), dan kecenderungan berperilaku (behavior tendencies) terhadap orang lain, kelompok, faham, dan objek-objek yang relatif menetap.

Ada tiga komponen sikap yaitu (1) afektif (affective), yang didalamnya termasuk perasaan suka tidak suka terhadap suatu objek atau orang; (2) kognitif, termasuk keyakinan tentang objek atau orang tersebut ; dan (3) perilaku, yaitu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap objek atau orang tersebut.

Sikap merupakan kajian yang sangat krusial karena sikap berperan sangat penting dalam setiap aspek dalam kehidupan sosial. Pertama, sikap pada dasarnya mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kita dengan orang lain. Sebagai contoh sikap yang positif terhadap seseorang membuat kita senang bertemu dengan orang itu, bahkan melakukan sesuatu untuk dia, mengimitasi perilakunya, dll. Sementara sikap yang negatif membuat kita cenderung menolak, menghindari, bahkan mungkin berperilaku kasar terhadap orang tersebut. Kedua, sikap mempengaruhi banyak keputusan-keputusan penting kita. Pilihan kita pada masa pemilihan presiden, gaya hidup, jurusan kuliah, semua dipengaruhi sikap kita terhadap orang dan objek-objek tersebut. Ketiga, sikap menentukan posisi kita ketika kita dihadapkan dengan isu-isu sosial yang krusial.

Pembentukan Sikap
Menurut Baron (1979), ada tiga proses yang sangat sederhana tetapi mempunyai efek yang sangat kuat terhadap pembentukan sikap. Yaitu classical conditioning, instrumental conditioning dan observational learning. Pada tulisan ini saya hanya menekankan pada classical conditioning, karena menurut saya proses inilah yang sedang terjadi saat ini.

Classical conditioning yaitu proses dimana beberapa stimulus yang bersifat netral, yaitu tidak mempunyai efek untuk memicu repon positif ataupun negatif, secara bertahap mempunyai efek itu (memicu respon positif ataupun negatif), setelah dilakukan pemasangan/asosiasi dengan stimulus lain yang memang pada dasarnya mempunyai efek memicu respon.

Kata Islam yang mempunyai efek netral, ketika dipasangkan dengan kata teroris yang mempunyai efek negatif, maka jika dilakukan pemasangan (pengasosiasian) secara terus menerus akan membuat kata Islam mempunyai efek yang sama dengan kata teroris.

Sebuah experimen yang dilakukan oleh Staats and Staats (1958) membuktikan efek classical conditioning tersebut. Mereka memasangkan/mengasosiasikan nama negara Belanda dengan kata-kata positif dan memasangkan nama negara Swedia dengan kata-kata yang negatif. Caranya yaitu setiap kata nama negara Belanda ditampilkan experimenter mengucapkan kata-kata yang positif seperti hadiah, senang, bersih, dll. Dan kebalikannya ketika nama negara swedia ditampilkan di monitor, kata-kata yang diucapkan seperti : jelek, kotor, pahit, kegagalan, dsb. Kemudian setelah beberapa menit experimenter meminta para subjek penelitian untuk memberikan impresi mereka tentang kedua negara tersebut, dan ternyata Belanda mendapat rating yang lebih positif dibanding Swedia. Perlu digaris bawahi bahwa pemasangan tersebut hanya dilakukan dalam beberapa menit dan sudah memberikan dampak kepada subjek penelitan.

Proses Pembentukan Asosiasi Teroris – Islam
Pemberitaan di media yang selalu menyandingkan kata teroris dan Islam menciptakan asosiasi yang kuat antara kedua kata tersebut. Setiap hari kita disajikan berita terorisme yang terkait dengan Islam. Dipelosok dunia manapun dan kapanpun waktunya publik selalu disajikan dengan asosiasi tersebut. Proses asosiasi tersebut bagaikan memenuhi seluruh ruang dan waktu. Experiment oleh Staats yang hanya dilakukan dalam beberapa menit telah memberikan dampak yang begitu nyata, bayangkan betapa dahsyatnya dampak proses asosiasi ini yang telah berlangsung bertahun-tahun, sedang dan masih akan berlangsung.

Atkinson & Shiffrin (1971) mengatakan bahwa semua rangsangan stimulus baik itu objek visual, auditif maupun konatif diterima oleh organ-organ indera (sensory memory) dan diteruskan ke working memory atau kadang disebut juga Short Term Memory (STM) akhirnya berlabuh di Long Term Memory (LTM).

Stimulus diterima oleh SM hanya beberapa detik, dan jika seseorang memberikan perhatian pada stimulus, maka stimulus itu akan memasuki STM/WM yang mampu menyimpan memori sampai dengan sekitar 20 detik, jika ada perhatian, usaha ataupun proses pada tahapan ini, maka stimulus itupun akan tersimpan di LTM secara permanen. Tanpa perhatian dan proses yang lebih kompleks pada setiap proses, akan mengakibatkan lupa.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa metode mengingat asosiasi merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk meningkatkan kemampuan dalam mengingat. Sesungguhnya kita kerap menggunakan metode ini dalam aktifitas sehari-hari. Jika kita baru berkenalan dengan seseorang, maka untuk mengingat dan menyimpan data dimemori tentang orang tersebut kita biasanya menggunakan asosiasi.

Misalkan anda berkenalan dengan X untuk pertamakali, maka wajah X akan anda simpan dimemori, dan diasosiasikan dengan data-data yang berhasil didapat. Misalkan data lainnya adalah X cantik, murah senyum, ada tahi lalat di hidung, dll. Sehingga dikemudian hari jika anda mendengar seseorang menyebut nama X maka muncullah data-data yang terasosiasi dengan nama orang tersebut.

Pada kondisi pengasosiasian oleh media antara kata teroris dan Islam, sesungguhnya yang juga terjadi adalah asosiasi atas semua data yang terkait dengan teroris dan segala data yang terkait dengan Islam yang telah tersimpan dimemori seseorang. Misalkan dalam kognisi si fulan berdasarkan data akumulatif yang terkumpul sepanjang hidupnya, kata teroris berasosiasi dengan kata bom, pembunuhan, pelakunya menggunakan topeng, sadis, biadab, dll. Sedangkan kata Islam berasosiasi dengan orang yang mengenakan kopyah, berjenggot, sholat, orang Indonesia, orang Arab, dll.

TERORIS = PEMBUNUH, PELAKU PENGEBOMAN, MENGENAKAN TOPENG, DLL.
+
ISLAM = ORANG ARAB, ORANG INDONESIA, MENGENAKAN KOPYAH, SHOLAT, DLL.
=
ORANG ISLAM ADALAH TERORIS

Maka sebagai asosiasi kedua kata tersebut muncul kesimpulan bahwa orang Islam, yang suka sholat, mengenakan kopyah, dan berjanggut adalah teroris, orang yang suka membunuh, dsb.

Kognisi kita akan terefleksi pada sikap kita terhadap sesuatu, yang berarti hasil asosiasi teroris-Islam yang tertanam dalam benak tiap-tiap orang akan mempengaruhi sikapnya.

Dampak Asosiasi teroris-Islam terhadap kognisi anak-anak
Sampai dengan mereka setidaknya remaja, kebanyakan anak-anak mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka. Mereka setuju dengan orang tua mereka atas semua isu. Anak-anak mengadopsi keyakinan dan sikap suka tidak suka terhadap sesuatu, baik itu mengenai makanan, pakaian bahkan pilihan akan partai. Bahkan Baron (1979) mengatakan bahwa anak-anak seringkali merupakan foto kopi orang tua mereka. Dan anak-anak cenderung mengikuti sikap orang tuanya secara buta, tanpa dasar kognitif yang rasional. Yang membedakan dampak media antara bagi orang dewasa dengan anak-anak adalah :

Pertama anak-anak masih mempunyai keterbatasan pengetahuan dan kemampuan untuk menganalisa kejadian, dan hal tersebut akan membuat mereka dengan mudah menerima asosiasi teroris-Islam. Mereka akan menerima semua berita itu tanpa banyak perlawanan. Anak-anak setiap saat melihat di televisi, membaca dikoran tentang terorisme-Islam. Walaupun tidak seintens individu-individu dewasa dalam mengakses berita tetapi proses yang sama dalam kadar yang berbeda juga terjadi.

Kedua, karena usia yang masih muda anak-anak akan mengalami proses ini secara lebih lama, yang akan memberikan efek yang lebih mendalam.

Ketiga, dengan kognisi, belief dan afeksi yang telah tertanam lama, sebagai para pemimpin dimasa mendatang probabilitas bahwa mereka akan berperilaku negatif terhadap Islam menjadi sangat besar. Dan perilaku ini akan menjadi perilaku kolektif diseluruh dunia.

Dengan asumsi-asumsi tersebut Islam akan semakin termajinalkan dimasa mendatang.

Upaya Meng-counter
Pemberitaan tentang Islam yang tidak proporsional akan menciptakan image yang disequilibrium tentang pemahaman Islam. Pemberitaan yang baik harus cover both side, seimbang, tidak hanya meng-highlight terorisme yang dilakukan oleh segelintir orang Islam, tetapi juga hal-hal positif yang dilakukan orang-orang Islam.

Upaya menyeimbangkan proses yang telah begitu lama dan kuat memang relatif sulit, tapi upaya harus dilakukan.

Bronfenbrenner mengatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi individu mempunyai tingkatan-tingkatan. Pengaruh utama adalah dari keluarga, lalu sekolah, kemudian media dan kebijakan pemerintah. Upaya mengcounter harus dilakukan secara simultan pada semua tingkatan-tingkatan tersebut.

Sebagai lingkungan terdekat, keluarga dapat menyeimbangkan asosiasi negatif tersebut. Kemudian otoritas formal lain selain orang tua seperti guru, media, juga bisa mulai menyajikan berita yang seimbang, dan pemerintah sebaiknya mendukung dengan peraturan-peraturan yang membuat aturan main yang jelas sehingga asas keseimbangan tetap dijaga.

Daftar bacaan
· Alam, W. Media and Communications in The Third World: Impact of Media on Society. Kanishka Publisher, 2000.
· Baron, R.A. Psychology. Allyn & Bacon,1998
· Baron, R.A. Social Psychology, Understanding Human Interaction. Allyn & Bacon, 1979
· Bhatnagar. R.V. Media and Communications in The Third World: Social Impact of The Electronic Media. Kanishka Publisher, 2000
· Chaplin, C.P. Kamus Lengkap Psikologi. PT. RajaGrafindo Persada, 1993
· Fiske, S.T & Taylor, S.E. Social Cognition. 2nd ed. McGraw Hill, 1991.
· Gazali, E. Without Media There Can Be No Terrorism. www.kompas.com.
· Hasan, A. Ekspose Terorisme Dalam Justifikasi Stereotipe Aktivis Islam. www.kompas.com. 2002.
· Lindsay, P.H. & Norman, D.A. Human Information Processing. 2nd ed, Academic Press, 1977
· Morgan and King R.A. Introduction To Psychology. 7th ed, Tata McGraw Hill, 1996.
· The Pew Research Center. Growing Number of Americans Say Islam encourages Violance among Followers. WWW.pewglobal.org. 2003.

Read more!

PSIKOTES: KEBENARAN, KEKUASAAN

Oleh: Audifax§

Sekitar tahun 1985, ketika kelas 1 SMP, saya mengikuti psikotes yang diwajibkan bagi semua siswa kelas 1. Dalam psikotes itu, ada beberapa pertanyaan yang saya ingat, antara lain: “Di manakah Brazilia?”, “Di Manakah Buenos Aires?”, “Apakah Vatikan itu?”. Ketika saya kelas 1 SMA, sekitar tahun 1988, saya menemui lagi pertanyaan-pertanyaan itu ketika mengikuti psikotes yang wajib diikuti oleh semua anak kelas 1. Selang beberapa tahun kemudian, ketika saya masuk Fakultas Psikologi, saya menemukan pertanyaan-pertanyaan itu pada salah satu tes ketika mengikuti sebuah mata kuliah yang mengajarkan berbagai tes. Saat ini, di tahun 2005, saya masih menemukan pertanyaan-pertanyaan itu pada sejumlah tes psikologi yan dilakukan di sejumlah sekolah maupun institusi lain. Bagi saya, itu sebuah ironi yang menyedihkan, orang-orang yang menggunakan tes itu seolah menganggap bahwa sang waktu telah membeku. Lebih menyedihkan lagi orang –orang yang mengerjakan tes itu, kemanusiawian mereka terpasung oleh pertanyaan yang dianggap mampu mengukur kemampuan mereka, padahal itu adalah pertanyaan yang sama dalam kurun waktu 20 tahun.
Fakta ini membawa kita pada sejumlah pertanyaan. Seberapa pertanyaan-pertanyaan itu masih memiliki valliditas untuk mengukur kemampuan seseorang? Bagaimana orang-orang yang menggeluti psikologi itu bisa menafikkan perkembangan dunia?. Siaran langsung pemakaman Paus, Maradona, bintang-bintang sepakbola dari Brazilia dan Argentina; bahkan telenovela adalah hal-hal yang jelas-jelas akan merubah validitas pertanyaan-pertanyaan itu. Lalu, bagaimana pertanggungjawaban hasil dari tes itu?. Padahal kita tahu bahwa psikotes tak jarang menentukan “nasib” seseorang. Dalam dunia kerja, seseorang bisa tidak diterima, dimutasi atau bahkan dikeluarkan akibat hasil psikotes. Seorang siswa bisa dikategorikan bodoh, terbelakang, dan berbagai label lain, karena hasil psikotes.
Validitas hasil psikotes bisa makin runyam jika kita memperhitungkan telah begitu banyak diterbitkan buku yang memberi petunjuk cara menjawab psikotes. Sementara kita juga mulai bisa mempertanyakan validitas alat berbasis kemampuan menghitung yang terdapat pada tes Pauli, Kraeplin [dan yang secara parsial juga ada di beberapa tes IQ]; ketika di masyarakat bermunculan kursus-kursus seperti Sempoa dan Mental Aritmetika. Psikotes sendiri, sebelum sampai pada semua permasalahan ini, masih menyimpan problem internal berkaitan dengan adaptasinya pada budaya Indonesia. Sebagian alat-alat yang digunakan sebagai psikotes, masih menyimpan bias budaya. Alat-alat yang menggunakan gambar seperti TAT misalnya, sebagian menggunakan latar situasi (bangunan, pakaian, pemandangan) yang asing untuk Indonesia.
Kebenaran
Ironisnya, psikotes, masih menjadi berhala di sejumlah institusi. Lembaga pendidikan setara SMP dan SMU selalu melakukan psikotes untuk “mengkategorikan” kemampuan anak didiknya. Baru-baru ini, saya dengar bahwa jenjang pendidikan setingkat TK pun melakukan psikotes untuk penerimaan murid. Kita juga bisa melihat bahwa perusahaan-perusahaan masih menggunakan psikotes untuk menerima, memutasi atau memberhentikan karyawan. Bahkan, ketika saya menulis artikel ini, ada berita bahwa pemilihan Kepala daerah (Pilkada) juga menggunakan psikotes sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui para calon kepala daerah. Dengan begitu banyak kelemahan dalam hal validitas, ternyata psikotes masih juga ditempatkan sebagai “kebenaran” dalam berbagai hal. Sebuah kebenaran yang menjadi acuan bagi keputusan akan nasib dan penilaian terhadap kemampuan manusia. Lebih jauh, kebenaran ini dapat pula mentaksonomi manusia, menempatkannya dalam hirarki kualitas yang akan menentukan nasib dan hidupnya.
Pada suatu titik; psikotes membuat manusia tak lebih dari sekedar angka. Manusia kehilangan keunikan diri, segala kelebihan yang hanya dimiliki oleh dirinya sebagai pribadi unik [dan satu-satunya di dunia] akan hilang oleh kriterium psikotes. Manusia telah dimasukkan dalam penyeragaman yang membuatnya tak lebih dari kerumunan; bahkan, sampai batas tertentu menjerat manusia dalam jejaring kekuasaan. Nasibnya, berada di bawah kekuasaan orang lain yang memiliki modal tertentu. Kemanusiaannya ditentukan oleh interpretasi psikologis yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki lisensi. Saya ulangi lagi, “memiliki lisensi”; artinya tidak sama dengan memiliki kemampuan. Memiliki lisensi, belum tentu memiliki kemampuan, tapi dalam “wacana psikotes” antara “memiliki lisensi” dan “memiliki kemampuan” kerap ditumpangtindihkan. Lebih jauh, kepemilikan akan lisensi itu sendiri, telah menjadi bagian dari kekuasaan ketika lisensi itu hanya bisa dikeluarkan oleh aparatus tertentu.
Lisensi untuk menginterpretasi dan menentukan nasib orang ini, hanya bisa diperoleh ketika seorang sarjana psikologi mengikuti pendidikan profesi yang diadakan oleh sejumlah fakultas Psikologi. Bagi angkatan 1992 dan sebelumnya, lisensi ini bisa diperoleh melalui pelatihan diagnostik yang diadakan oleh organisasi profesi, dalam hal ini Himpsi. Sampai di sini, program profesi psikologi maupun Himpsi, adalah ‘aparatus’ yang memiliki kekuasaan untuk melegitimasi kebenaran psikotes melalui penyelenggaraan pendidikan yang akan menghasilkan lisensi-lisensi yang dipertukarkan dengan hak menginterpretasi psikotes. Apapun hasilnya, jika psikotes telah diinterpretasi mereka yang memegang lisensi, akan ditempatkan sebagai kebenaran. Akhirnya, dalam wacana psikotes, psikologi menjadi tak lebih dari ilmu yang sifatnya tekstual ketimbang kontekstual. Pada sisi tertentu, psikologi telah jaut ke dalam bentuk ‘pertukangan’ yang hanya mengoperasikan alat-alat tes.
Inilah yang dijelaskan Pierre Bourdieu sebagai kekuasaan yang beroperasi melalui modal simbolik. Angka-angka dalam psikotes menjadi modal simbolik. Lisensi menggunakan alat-alat psikotes adalah modal simbolik. Gelar psikologi adalah modal simbolik. Keanggotaan Himpsi adalah modal simbolik. Modal ini berguna untuk mendominasi orang lain, melegitimasi dan memapankan posisi sendiri. Dalam pembahasan Bourdieu, sebenarnya dicermati kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi dan menyembunyikan diri melalui budaya. Dalam konteks ini, kita mencermati kekuasaan yang beroperasi dalam “budaya akademis”. Kelompok terdominasi adalah kumpulan individu-individu yang menerima begitu saja (taken-for-granted) terhadap konstruksi-konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Agar kelompok yang didominasi menerima begitu saja, maka kelompok terdominasi harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya melalui penaklukan moral dan intelektual kelompok terdominasi. Modal adalah hal-hal yang dalam kebudayaan merupakan suatu yang diyakini penting.
Dalam psikotes, orang menjadi tak lebih dari angka-angka. Nasib orang dan bagaimana orang itu digambarkan ditentukan oleh angka yang dimilikinya. Sedangkan dalam wacana pendidikan, kita menemukan pula bahwa sistem pendidikan pun meredusir manusia sebatas angka. Angka membuat orang dapat dikategorikan bodoh, pintar, juara, rangking, cum laude, summa cum laude, teladan, dll. Banyak orang menerima begitu saja bahwa dirinya bodoh hanya dengan patokan angka itu. Orang jadi tidak mengenali diri dan segala keunikan yang dimiliki. Sebaliknya, mereka yang oleh angka-angka itu dinobatkan sebagai makhluk-makhluk exellent, menerima begitu saja tanpa pernah merefleksikan kelayakan dirinya. Situasi seperti ini menjadi titik berangkat beroperasinya kekuasaan.
Psikotes yang diyakini sebagai kebenaran ini persis seperti apa yang digambarkan oleh Jacques Lacan seperti bayi yang melihat melihat bayangan dirinya di cermin (image), ia berpikir bahwa itu adalah dirinya. Tetapi sebenarnya bukan, itu hanya image. Tetapi orang lain (ibu) meyakinkan bahwa bayangan dalam cermin itu adalah dirinya. Pengidentifikasian diri ini disebut misrecognition, ketika bayi melihat bayangannya di cermin, ia berpikir bahwa bayangan (image) itu adalah dirinya. Sehingga Lacan berpendapat bahwa ego atau self atau “I”dentity merupakan fantasi, karena proses pengidentifikasian berasal dari eksternal image dan bukan internal. Seperti ini pula yang terjadi pada orang-orang yang meyakini hasil psikotes. Pada titik ini, orang justru jatuh ke dalam kolam citraan dan teralienasi dari dirinya sendiri. Ia mengambil begitu saja citraan yang dilekatkan orang atas dirinya dan membiarkan dirinya berada di bawah kekuasaan orang lain yang menentukan “kenormalan” dirinya, kelayakannya untuk dapat diterima sebagai anggota suatu komunitas.
Kekuasaan
Foucault mengatakan bahwa “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya dijalankan dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, dalam upaya pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk pemahaman subjektif atas perilaku dalam kompleksitas yang dihadirkan sebagai bentuk restriksi. Dengan demikian, manusia menjadi layak untuk ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi melalui wacana dan mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya.
Foucault menganalisa keterkaitan antara kekuasaan, pengetahuan, dan diskursus yang berkembang pada kemapanan penjelasan berdasar rasionalitas; yang hadir secara progresif dan telah diyakini banyak orang; sehingga memfungsikannya sebagai normalisasi yang menyeragamkan. Kita dapat melihat ini pada begitu banyaknya orang yang mempercayai begitu saja psikotes. Ini membuat intrepretasi-interpretasi psikologis diterima begitu saja sebagai penjelasan atas kemampuan seseorang. Pada titik ini, orang dipaksa untuk berada pada keseragaman kriterium penilaian yang telah dimapankan sebagai penjelas kualitas manusia. Kemapanan penjelasan inilah yang kemudian menjadi kerangka kerja rasional-empiris yang diletakkan sebagai basis dari segala kebenaran dan pengetahuan. Hegemoni penjelasan yang diletakkan di atas rasionalitas dan diinstitusi ini; memarjinalisasi diskursus lain serta mencipta dan memvalidasi suatu jaringan kekuatan sosial yang sifatnya normatif dengan mengedepankan disiplin serta pembatasan pemikiran individu hanya pada ranah mikrolevel.
Hasil psikotes, meminjam istilah Jorge Luis Borges, lebih berfungsi sebagai peta yang mendahului daerah (peta a teritori) ketimbang daerah yang menjadi acuan membuat peta (teritori a peta). Orang akan cenderung mengafirmasi dan memperlakukan orang lain berdasarkan hasil psikotes. Apalagi, hasil psikotes, kebanyakan justru tidak diketahui oleh pribadi yang menjalani tes. Hasil-hasil psikotes, kebanyakan dipegang oleh HRD atau guru BP. Dalam cara pandang Foucault kita menempatkan psikotes dan penggunaannya sebagai wacana; ini berarti psikotes tak hanya yang memuat serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi juga sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek). Lebih kontekstual, kita dapat menempatkan psikotes sebagai wacana yang dapat dideteksi; karena secara sistematis, suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Psikotes, tak lepas dari wacana ilmu sosial; di mana psikologi sebagai salah satu cabangnya, membentuk suatu konsep yang mentaksonomi manusia dalam berbagai kategori. Klaim kebenaran yang diatasnamakan sains, membuat psikotes berubah menjadi alat kekuasaan, terutama ketika orang kerap percaya begitu saja taksonomi yang muncul dari perangkat ini.
Taksonomi “ke-manusia-an” ini lebih merupakan suatu upaya menguasai manusia. Dalam nature-nya yang absurd dan terus berubah, manusia adalah entitas yang sulit untuk dikuasai, namun ketika dia telah masuk dalam suatu pendefinisian menetap (fixed definition), maka manusia akan lebih mudah dikuasai. Psikotes adalah salah satu fixed definition yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menguasai pihak lain. Keberdayaan psikotes dalam menciptakan fixed definition tak lepas dari legitimasi ilmu pengetahuan beserta aparatus-aparatusnya. Psikotes, melalui penyelenggaraan program profesi psikologi oleh perguruan tinggi, telah ditempatkan sebagai kebenaran mutlak. Ilmu pengetahuan, pada titik ini telah berubah ke arah dogmatisme, karena orang menerima begitu saja tanpa memberikan cermatan lebih jauh pada hasil psikotes. Kesalingterkaitan antara kekuasaan dan pengetahuan ditandai Foucault dengan garis miring (/) yang ditempatkan di antara Kekuasaan (power) dan Pengetahuan (knowledge).
Kemanusiawian yang Hilang
Foucault menjelaskan bahwa kita disosialisasi ke dalam seperangkat praktik diskursif yang berupa struktur pemaknaan. Tetapi ini bukan struktur yang bersifat menetap atau tak bisa diubah. Manusia adalah agen yang memediasi struktur ini. Dengan demikian kelanggengan struktur ini sangat tergantung pada bagaimana penerimaan manusia. Dalam kaitan dengan psikotes, semakin kita menerima dan menempatkan hasilnya sebagai kebenaran, maka kita akan semakin terkuasai oleh struktur itu. Lebih jauh, kita akan semakin terasing dari kemanusiawian kita.
Kemapanan Psikotes sebagai kebenaran, memang tak lepas dari budaya dan ideologi yang berkembang di masyarakat. Psikotes, bisa jadi telah menjadi bagian dari budaya populer yang menyimbolkan modernitas. Sebuah ideologi dalam dunia sumber daya manusia yang dianut oleh orang-orang yang memerlukan pembenar semu dalam keputusannya. Pada titik ini, saya jadi teringat Antonio Gramsci yang menjelaskan bahwa budaya dan ideologi menciptakan makna tetapi makna ini secara konstan diperjuangkan melampaui struktur yang dimediasi oleh manusia sebagai agen. Ini lebih jauh dijelaskan dalam konsep mengenai hegemoni, di mana manusia tertaklukkan secara moral dan intelektual karena berbagai dalil yang tidak dicermati secara kritis. Orang percaya begitu saja bahwa mereka yang bergelar psikolog atau master dalam psikologi, adalah para “ahli” yang dapat menginterpretasi secara presisi kemanusiawian orang lain. Kita mungkin lupa bahwa kemanusiawian kita tak akan pernah bisa diinterpretasi atau ditaksonomi. Manusia justru bertumbuh dalam ketidakpastiannya, karena dalam ketidakpastian itulah terbetik harapan.
Jacques Derrida menjelaskan bahwa makna tak pernah menetap, dia secara konstan berubah. Makna tergantung manusia sebagai agen yang mengoperasikannya. Demikian pula dengan psikotes, dia bukan sebuah pemaknaan menetap akan manusia. Pemaknaannya akan sangat tergantung keterkaitannya dengan berbagai hal lain yang juga terus berubah (sinkronik) dan perubahan yang terjadi sepanjang rentang waktu (diakronik). Psikotes adalah salah satu upaya pencarian melalui proses pemaknaan. Sayang, dalam perkembangannya, orang banyak menetapkan sebagai acuan harga mati atau pemaknaan yang bersifat menetap. Psikotes bahkan berubah menjadi stigmatisasi ketika ditemukan interpretasi psikologis yang menyatakan bahwa seseorang menyimpang.
Manusia adalah entitas yang tak pernah memiliki pemaknaan menetap. Dia hidup dalam absurditas dan pergerakan pencarian diri, justru dalam absurditas dan pencarian inilah manusia menemukan kemanusiawiannya. Biarlah manusia tumbuh dalam absurditasnya, seperti Sisifus yang justru menemukan kebahagiaannya ketika dia dihukum oleh dewa untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar ke puncak gunung; dan mengulanginya lagi karena setiap sampai ke puncak batu itu kembali menggelinding ke bawah. Seluruh kebahagiaan bisu Sisifus terletak pada proses ini, karena dengan demikian nasibnya adalah miliknya. Batunya adalah bendanya. Begitu pula manusia absurd, ketika ia merenungi kehidupan dengan segala ketidakpastian serta tanggung jawab hidup atas talenta yang dianugerahkan semesta padanya, ia berkemampuan untuk membuat semua [patung] berhala psikotes membisu.
Tulisan ini tak hendak mendiskreditkan psikotes maupun pihak-pihak yang menggunakan atau mengoperasikannya. Tak pula hendak merendahkan mereka yang memiliki lisensi menginterpretasi, karena saya tahu sebagian dari mereka memang handal dan kompeten. Hal esensial yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita mencermati hal-hal di balik psikotes dan implikasi-implikasinya. Bagaimana anda menerima dan sejauh mana anda mempercayai psikotes, semua tetap merupakan pilihan bebas anda sebagai manusia.
Bagaimana cermatan anda?


© Audifax - 24 April 2005
Sumber : psikologi_transformatif@yahoogroups.com

Read more!

Tinjauan Kecerdasan Spiritual (SQ) Terhadap Permasalahan Sosial di Indonesia

Oleh : Rahmat Ismail
Ketua Umum PP Himpunan Psikologi Indonesia


AbstrakKrisis moneter yang menimpa beberapa negara di Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial di Indonesia.

Di Indonesia sangat dirasakan adanya krisis ekonomi yang dimulai dari kehancuran sektor perbankan, dilanjutkan dengan penarikan dana yang sangat besar dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI untuk penyehatan sektor perbankan. Akan tetapi justru yang terjadi adalah maraknya perdagangan valuta asing sehingga nilai tukar rupiah jatuh ke titik yang terendah.

Kemelut dalam bidang politikpun terjadi. Presiden Suharto setelah berkuasa lebih dari 32 tahun terpaksa harus meletakkan jabatan. Wakil Presiden saat itu, BJ Habibie, diangkat menjadi Presiden. Melalui Sidang Istimewa MPR RI, diputuskan adanya pemilihan umum dipercepat. Hasilnya terpilih Presiden baru Abdurrachman Wahid, yang juga tidak dapat bertahan lama karena dianggap sering mengambil keputusan yang kontroversial. Melalui Sidang Istimewa MPR RI Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden.

Muncul berbagai permasalahan sosial di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan dengan latarbelakang kesukuan, agama, politik dan ekonomi telah memicu berbagai unjuk rasa, main hakim sendiri hingga pertumpahan darah.

Pendekatan yang memanfaatkan Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) diharapkan dapat menjadi alernatif pemecahan masalah konflik sosial yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.

PendahuluanKrisis moneter yang diawali sejak pertengahan tahun 1997 dan terjadi di Asia Tenggara, telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan bangsa-bangsa menjelang diberlakukannya Zona Perdagangan Bebas.

Dimulai dengan adanya guncangan ekonomi di Kerajaan Gajah Putih Thailand, dimana nilai tukar mata uang Bath yang selama 40 tahun terakhir berkisar sekitar 24 Bath untuk 1 dollar Amerika, pada bulan April 1997 telah terpuruk menjadi 50 Bath. Jatuhnya mata uang Bath ini menjadi pemicu dimulainya krisis ekonomi di Korea, Malaysia, Philipina, Singapura dan Indonesia.

Perbaikan yang dilakukan di negara-negara Thailand, Korea, Malaysia, Philipina dan Singapura dapat cepat membawa hasil, karena krisis yang mereka alami hanya menyangkut moneter saja. Berbeda dengan di Indonesia, dimana terjadinya krisis moneter telah diikuti pula oleh krisis politik yang pada akhirnya menjadi sebuah krisis sosial.

Krisis multi dimensi di IndonesiaKrisis ekonomi di Indonesia diawali sejak dilakukannya praktik perdagangan monopoli yang dilakukan oleh elit tertentu dan didukung oleh kekuatan politik yang ada. Kekuatan ekonomi yang dibentuk dan ditentukan oleh kekuasaan politik ini telah mendorong tumbuh suburnya korupsi di pelbagai lini birokrasi pemerintahan dan militer.

Dalam bidang keuangan, lembaga perbankan lahir dengan mudah karena persyaratan pendirian yang sangat ringan. Akan tetapi dalam perkembangannya, dana yang dikumpulkan oleh perbankan di Indonesia lebih banyak digunakan hanya untuk membiayai usaha dari kelompok pemilik bank itu sendiri. Karena sebagian besar dari usaha ini gagal, maka perbankan harus memikul beban kerugian yang sangat berat.

Akibatnya, likwiditas perbankan menjadi sangat lemah. L/C yang sudah dibuka dan jatuh tempo untuk dibayarkan, tidak dapat dicairkan oleh bank-bank di luar negeri. Oleh karena seringnya perbankan kalah kliring, mereka meminjam dari bank yang lain dengan bunga yang sangat tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini sekelompok pengusaha perbankan mengajukan permohonan bantuan likwiditas dari Bank Indonesia dan terjadilah penarikan uang negara secara besar-besaran yang diberikan kepada sekelompok pengusaha perbankan yang dikenal sebagai kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) pada bulan Nopember 1997. Di perkirakan dana BLBI tersebut sebagian besar tidak digunakan untuk menyehatkan keuangan perbankan di dalam negeri, melainkan dipindahkan ke luar negeri dipakai untuk spekulasi valuta asing. Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan yang pernah memeriksa BLBI menyebut kasus ini sebagai "perampokan bank terbesar di dunia yang dilakukan secara terang-terangan di siang hari bolong"

Nilai tukar rupiah yang sebelum masa krisis masih bisa bertahan pada posisi sekitar Rp. 2.250 untuk 1 dollar Amerika telah merosot ke Rp. 4.000 pada saat BLBI dilakukan. Akan tetapi hanya dalam waktu 45 hari setelah BLBI dikucurkan, nilai tukar rupiah justru merosot empat kali lipat hingga mencapai titik terendahnya pada pertengahan Februari 1998 senilai Rp 16.000 untuk 1 dollar Amerika. Suatu nilai tukar yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi menimpa ekonomi Indonesia.

NAMA BANK PENERIMA
JUMLAH POKOK

1. BDNI / Sjamsul Nursalim
Rp. 37.040 milyar

2. BCA / Soedono Salim
Rp. 26.596 milyar

3. DANAMON / Usman Atmadjaja
Rp. 23.050 milyar

4. BUN / Bob Hasan
Rp. 12.068 milyar

5. BIRA / Bambang Winarso
Rp. 4.018 milyar

6. BHS / Hendra Rahardja
Rp. 3.866 milyar


Tabel 1. Lima besar penerima BLBI (Sumber BI dan BPK)


Sebagai dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah, terjadinya penguasaan perekonomian di tangan sekelompok pengusaha besar dan penumpukan kekayaan pada sekelompok orang saja, terutama di tangan pejabat negara dan militer yang korup, semakin menyebabkan rasa ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintahan yang ada. Dipicu oleh pengunduran diri sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan 2 bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri yang diprakarsai oleh Ginanjar Kartasasmita, Pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun berakhir dengan dibacakannya pengunduran diri Suharto sebagai presiden dan dilantiknya B.J. Habibie sebagai Presiden Indonesia ke tiga pada pagi hari Kamis 21 Mei 1998. Rezim Orde Baru yang telah berkuasa dengan sangat kokoh di Indonesia, ternyata tidak mampu untuk bisa membendung kehancuran perekonomian.

Sidang Istimewa MPR RI kemudian diadakan dan menetapkan dipercepatnya pelaksanaan pemilihan umum agar para wakil rakyat dapat memilih Presiden yang legitimate. Melalui hasil pemilu inilah kemudian MPR RI memilih Abdurrachman Wahid menjadi Presiden RI ke empat. Akan tetapi usia kepemimpinan Wahid inipun tidak dapat bertahan lama. Terjadi konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif. Wahid yang seringkali mengambil keputusan yang kontroversial pada akhirnya mengeluarkan dekrit pembubarkan MPR RI. Hal ini menyebabkan reaksi MPR RI mencabut mandat yang telah diberikan kepada Wahid dan mengaangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden ke lima Indonesia.

Konflik sosial di pelbagai daerah di Indonesia.Bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik, konflik sosialpun bermunculan di berberbagai daerah. Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki tata krama yang sangat tinggi, seolah berubah menjadi bangsa yang brutal dan bengis.

Kerusuhan antar agama yang tidak dapat dibuktikan siapa pelakunya terjadi di Situbondo pada tanggal 10 Oktober 1996. Demikian pula di Tasikmalaya pada tanggal 26 Desember 1996 terjadi kerusuhan yang dipicu oleh adanya penganiayaan dua orang santri oleh polisi setempat.

Di Ambon terjadi pula kerusuhan antar agama pada tanggal 19 Januari 1999 terjadi tepat pada pada hari raya ‘Idul Fitri , di Galela, Maluku Utara terjadi pembantaian di dalam masjid pada bulan puasa Desember 1999 dan di Poso ditemukan ratusan mayat terapung di suangai Poso pada Mei 2000 menjelang pelaksanaan MTQ ke 19.

Konflik antar suku terjadi beberapa kali di Kalimantan antara suku Dayak dan Madura. Di Sanggauledo pada tanggal 29 Desember 1996, di Pontianak 29 Januari 1997 dan 25 Oktober 2000, serta di Sungaikunyit Hulu 18 Pebruari 1997. Kejadian paling parah terjadi di Palangkaraya pada 18 Pebruari 2001 dan berkembang hingga ke Sampit. Konflik antar suku ini telah menyebabkan terjadinya arus pengungsi etnis Madura ke Surabaya dan Pulau Madura secara besar-besaran.

Sejak bulan Januari hingga Oktober 1998, di 13 wilayah Jawa dan Madura, khususnya di daerah Tapal Kuda Jawa Timur terjadi pembunuhan massal yang bermula dari isu pembersihan dukun santet. Para ustadz dan kiai menjadi korban pembunuhan yang polanya mirip dengan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI menjelang meletusnya G30S. Di Bekasi, Serang, Demak, Bangkalan, Lumajang, Situbondo dan Probolinggo ditemukan korban tewas dan luka-luka parah.

Kejadian yang paling mencolok adalah korban pembantaian yang tewas di Banyuwangi yaitu 85 orang, di Sumenep 23 orang, di Jember 17 orang, di Pasuruan 13 orang dan di Pamekasan 5 orang. sejak bulan Januari hingga Oktober 1998.

Di Aceh telah terjadi konflik sosial yang pada akhirnya tidak diketahui lagi siapa yang memulainya. Tentara membunuh rakyat, rakyat membunuh tentara. Rektor sebuah universitas dibantai, anggota legislatif dan eksekutif diculik dan dibunuh. Fasilitas umum diluluh lantakkan. Pemerintah pada akhirnya menyetujui untuk memberikan Otonomi Khusus bagi Aceh melalui Undang-undang Nanggroe Atjeh Darussalam.

Di Jakarta juga terjadi berbagai konflik sosial dengan latar belakang permasalahan yang beraneka ragam. Antara lain mulai dari perebutan lahan parkir, tertangkapnya pencuri, konflik antar kampung/suku, konflik politik hingga konflik antara mahasiswa dan tentara/polisi yang menyebabkan meninggalnya 3 orang martir mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia, Hafidin Royan dan Hery Hertanto pada tanggal 12 Mei 1998.

Konflik yang terjadi hampir di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai. Sementara nilai-nilai yang lama masih belum dapat ditinggalkan, nilai-nilai baru sudah berlaku di masyarakat. Dalam kondisi anomi ini, masyarakat hidup dengan penuh ketidak jelasan. Dapat dilihat dari sopan santun di jalan raya bagi pengendara kendaraan, saat ini sudah hampir tidak ada lagi. Kendaraan-kendaraan terutama yang besar-besar, melaju dengan sesuka hati mereka tanpa memperhitungkan bahaya yang mungkin bisa terjadi bagi pengendara lain. Sikap main hakim sendiri juga sudah merupakan kejadian sehari-hari, sehingga tidak jarang terjadi pengeroyokan hingga mati terhadap pencuri yang tertangkap basah.

Dalam kondisi sedemikian ini, diharapkan kita dapat memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai permasalahan ini dengan baik dan memecahkan persoalan-persoalan tersebut dengan mengetahui makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Kecerdasan Spiritual sebagai alternatif pemecahan masalah konflik sosialMenghadapi bebagai permasalahan konflik sosial yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan bahkan telah mulai menjurus kepada kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, diperlukan kemampuan untuk dapat melihat permasalahan yang ada secara holistik, dimana kita dapat melihat dengan lengkap seluruh keterkaitan permasalahan dan mampu untuk bersikap secara luwes. Hal ini dimungkinkan apabila seseoang itu memiliki Kecerdasan Spiritual yang tinggi.

Danah Zohar dan Ian Marshal memberikan batasan tentang Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) ini sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai.

Apabila dikaitkan dengan teori chaos, maka saat ini kita sedang berada pada titik "ujung", yaitu titik pertemuan antara tatanan dan kekacauan. Antara yang diketahui dan yang tidak diketahui. Untuk itulah diharapkan agar kita memiliki kemampuan untuk dapat membaca makna dan nilai yang tekandung di dalamnya.

Kecerdasan Intelektual yang sangat dikenal sejak awal abad ke 20 dengan IQ (Intelligence Quotient), adalah merupakan perkalian 100 atas Usia Mental (MA, yang didapat melalui nilai test psikologi) dibagi dengan Usia Kalender (CA, yang didapat dari usia kelahiran). Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis.

Daniel Goleman pada pertengahan 1990-an mempopulerkan Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotion), adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara aktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. EQ merupakan persyaratan dasar untuk dapat menggunakan IQ secara efektif.

Ditinjau dari ilmu saraf, IQ merupakan hasil dari pengorganisasian saraf yang memungkinkan kita untuk berpikir rasional, logis dan taat asas. EQ yang memungkinkan kita untuk bepikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan kita untuk dapat mengenali pola-pola emosi. Sedangkan SQ memungkinkan kita untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan.

SQ dengan demikian merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ.

Sekalipun SQ tidak sama dengan beragama, tidak harus berhubungan dengan agama dan beragama itu tidak menjamin dimilikinya SQ yang tinggi, namun tantangan untuk mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Tetap diperlukan adanya kerangka acuan dari agama untuk dapat mempermudah kita dalam memahami makna dan nilai dalam kehidupan ini. Dengan demikian penguasaan agama akan membantu kita dalam mempermudah meningkatkan Kecerdasan Spiritual, sehingga kita dapat menangkap makna dan nilai-nilai dengan lebih baik.

Tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik adalah :

Kemampuan bersikap fleksibel
Tingkat kesadaran yang dimiliki tinggi
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
Keengganan untuk mengalami kerugian yang tidak perlu
Kemampuan untuk melihat keterkaitan berbagai hal
Memiliki kecenderungan bertanya "mengapa" atau "bagaimana jika" dalam rangka mencari jawaban yang mendasar
Memiliki kemampuan untuk bekerja mandiri.
Dengan dapat terpenuhinya tanda-tanda SQ yang telah berkembang ini,diharapkan seseorang akan mampu untuk selalu membuka diri terhadap setiap pengalaman yang ditemuinya dan kemudian dapat menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Seseorang akan menjadi tegar untuk menghadapi setiap permasalahan dan membuka diri untuk memandang kehidupan dengan cara yang baru.

KesimpulanDi dalam menghadapi berbagai konflik yang timbul sebagai akibat dari tidak segera diatasinya krisis multi dimensi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia, pertama-tama sangat diperlukan adanya kemampuan untuk dapat melihat keterkaitan dari setiap permasalahan yang sedang dihadapi.

Dengan dimilikinya kemampuan untuk melihat permasalahan secara holistik, diharapkan kita dapat menjadi lebih fleksibel dalam menentukan etika baru yang akan kita pergunakan untuk menggantikan etika lama yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Diperlukan pula adanya seseorang pemimpin yang penuh dengan pengabdian, mampu untuk melepaskan dirinya dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok, aliran atau partai politik yang dianutnya dan kemudian menjadikan kepentingan mayoritas dari bangsa ini sebagai acuan sikapnya.

Kita harus dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya masyarakat modern yang saat ini sangat dipengaruhi oleh humanisme barat, ternyata menurut Danah Zohar dan Ian Marshall memiliki SQ kolektif yang rendah. Manusianya berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Oleh karena itu ajaran-ajaran agama akan sangat membantu kita untuk dapat meningkatkan SQ agar dapat menjadi tinggi dan dapat keluar dari konflik sosial yang saat ini telah sampai pada "ujung"nya.

KepustakaanDanah Zohar & Ian Marshall (2000), SQ: Spiritual Intelligence – The
Ultimate Intelligence, Great Britain: Blomsbury

Robert K.C. & Ayman S (1997) , EXECUTIVE EQ, Emotional
Intelligence in Leadership and Organizations, NY: Advanced Intelligence Technologies

Thomas M.H. (2000), Studying Psychology, Great Britain: Psychology Press Ltd.
Sumber : http://www.himpsi.org

Read more!