AMUK
Prof. DR. Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Istilah yang berasal dari kata Melayu ini ada dalam kamus Bahasa Inggris (dieja: amuck). Artinya sama dengan dalam bahasa Indonesia: mengamuk. Dalam dunia kedokteran jiwa, amuk biasa terjadi pada penderita schizophrenia (awam: gila) yang akut, sehingga pasien itu terpaksa diikat di tempat tidur (kalau di desa: dipasung). Kalau yang ngamuk beramai-ramai, menurut versi Polri namanya rusuh massa dan mengatasinya dengan PHH (pasukan anti huru-hara).
Dalam dunia psikologi, amuk sebenarnya adalah hal yang biasa. Anak kecil pun bisa mengamuk, nangis dan menjerit-jerit sejadi-jadinya atau berguling-guling di lantai. Namanya: temper tantrum. Ibu-ibu juga bisa menangis, menjerit-jerit dan menjambaki rambutnya sendiri dan menyerang orang yang mau mendekatinya. Namanya: hysteria.Semuanya itu terjadi, biasanya kalau orang sudah frustrasi berat: anak minta mainan tidak diberi, atau isteri yang suaminya selingkuh.
Tetapi amuk bukanlah sekedar agresif karena frustrasi. Orang mengamuk bisa karena alasan yang tidak jelas. Bahkan mungkin tanpa alasan sama sekali. Orang yang beberapa menit yang lalu masih baik-baik, ngobrol dengan teman-temannya di warung, bisa tiba-tiba melempari toko, membakar mobil yang liwat, bahkan membakar pencopet yang tertangkap. Padahal dia sama sekali tidak ada urusannya dengan toko atau mobil itu, dan ia pun tidak tahu apakah orang yang dibakarnya itu pencopet beneran atau bukan.
Uniknya, istilah amuck dalam bahasa Inggris justru diadopsi dari bahasa Indonesia (dulu: Melayu). Padahal biasanya bahasa Indonesia-lah yang mengadopsi kata-kata dari bahasa Inggris. Jelas bahwa di mata orang Inggris (mungkin di jamannya Gubernur Jenderal Inggris Raffles) orang Indonesia amat-sangat suka mengamuk.
***
Satu dua tahun terakhir ini, perkiraan orang Inggris bahwa bangsa Indonesia adalah tukang mengamuk sudah terbukti. Kita sebagai bangsa Indonesia, tentu akan heran: "Lho, bagaimana mungkin bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka mengamuk. Kita kan terkenal sebagai bangsa yang ramah-tamah dan berbudaya tinggi". Tetapi kenyataan tetap mengatakan bahwa orang Indonesia tukang ngamuk. Bukan hanya sekarang, tetapi sejak jaman dulu kala. Ingat saja kisah-kisah dan hikayat-hikayat jaman dulu seperti Ken Arok, Ki Ageng Mangir, Hang Tuah dan si Malin Kundang yang isinya penuh dengki dan iri yang diakhiri dengan pembunuhan. Malah ibunya Malin Kundang rela menyumpahi anaknya yang durhaka menjadi batu. Tengok saja catatan sejarah tentang pembantaian orang Cina di Batavia di awal tahun 1900-an, kerusuhan rasial tahun 1963 di Jawa Barat, kerusuhan Jawa Tengah tahun 1980, rentetan amuk massa di Situbondo, Tasikmalaya, dan kota-kota lain di tahun 1996, peristiwa 12-13 Mei di Jakarta, dan kerusuhan-kerusuhan di Ambon dan Maluku Utara 1999 dan di tahun 2000 ini hampir setiap hari ada massa mengamuk di mana saja dan kapan saja. Sasarannya bisa macam-macam, dari lahan perkebunan sampai gedung DPR/DPRD, dari lokalisasi WTS sampai pos-polisi, dari orang terkenal sampai orang tak dikenal. Pokoknya di mana saja, apa saja dan siapa saja. .
***
Sebetulnya, sifat pengamuk, khususnya amuk massa, bukanlah khas Indonesia. Sekarang ini di Fiji, di Siera Leone, di Bosnia, di Palestina dan di banyak tempat lain, orang mengamuk hampir setiap hari. Kalau diurut ke sejarah amuk massa juga terjadi di Rusia ketika massa menjagal Tsar, di Perancis ketika massa memenggal kepala Maria Antoinette, di Beijing pada peristiwa Tien An Mien dan masih banyaaak lagi. Karena itu psikolog Perancis, Gustav Le Bon, yang hidup di akhir abad ke-19 sudah menciptakan teori tentang amuk massa yang konon dikendalikan oleh jiwa kolektif (collective mind) yang bersifat jauh lebih kekanak-kanakan, emosional, tidak memakai akal dan lebih agresif-destruktif ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind).
Tetapi yang luar biasa pada bangsa Indonesia (sehingga istilah Inggris diadopsi dari bahasa Indonesia) adalah bahwa bangsa kita ini terkenal ramah dan baik hati, kok tiba-tiba bisa mengamuk. Lho! Ini kan luar biasa. Bagaimana mungkin?
***
Jawaban pakar dan penggembira (termasuk pers) model sekarang adalah mungkin saja, karena selama 32 tahun kita dikekang tirani! Lho, kok 32 tahun? Padahal istilah amuk sudah ada sejak jauh sebelum era-nya Suharto (lagi-lagi kok Suharto yang disalahkan). Jadi tentunya ada jawaban lain.
Jawaban yang paling pesimistik adalah jawaban yang berdasarkan teorinya Lombrosso: orang yang terlahir jahat, selamanya akan jahat. Bangsa Indonesia dari sono-nya sudah pengamuk (dan pura-pura saja baik hati), sehingga sampai kapanpun akan pengamuk (bahkan ada yang menambahkan dengan bakat-bakat jelek lainnya: pemalas, pemboros, gila hormat dsb.). Bangsa yang seperti ini, tanpa provokator pun akan setiap saat bisa mengamuk, apalagi kalau dikompori oleh provokator.
Jawaban yang lebih realistik dan optimistik adalah jawaban sosiologi, yaitu bahwa bangsa Indonesia masih terlalu banyak kelas bawahnya (kurang berpendidikan, pekerja kasar atau pengangguran, miskin) dan masih terlalu sedikit kelas menengah-atasnya (berpendidikan menengah ke atas, karyawan staf, pemimpin atau manajer, penghasilan jauh di atas UMR). Kelas bawah, kata sosiologi, memang cenderung kurang rasional, lebih emosional dan kurang paham hukum, sementara kelas menengah-atas lebih taat hukum, selain karena mereka lebih berpendidikan dan lebih rasional, merekapun membutuhkan system yang jelas dan keteraturan untuk bisa melaksanakan pekerjaan mereka sehari-hari. Menurut teori ini, jika bangsa Indonesia sudah mempunyai kelas menengah-atas maka dengan sendirinya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang demokratis dan kerusuhan dengan sendirinya akan berkurang. Biar pun banyak provokator, bangsa yang seperti ini tetap akan aman dan stabil.
***
Masalahnya sekarang, untuk mencapai masyarakat yang mempunyai kelas menengah yang cukup banyak (kata Yuwono Sudarsono: minimum 30%), masih diperlukan waktu yang panjang (Amerika Serikat perlu lebih dari 200 tahun, Eropa lebih dari 1000 tahun). Sebelum kita sampai ke situ apa yang harus dilakukan? Kata Ebiet G. Ade: tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Sumber : http://www.himpsi.org
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Istilah yang berasal dari kata Melayu ini ada dalam kamus Bahasa Inggris (dieja: amuck). Artinya sama dengan dalam bahasa Indonesia: mengamuk. Dalam dunia kedokteran jiwa, amuk biasa terjadi pada penderita schizophrenia (awam: gila) yang akut, sehingga pasien itu terpaksa diikat di tempat tidur (kalau di desa: dipasung). Kalau yang ngamuk beramai-ramai, menurut versi Polri namanya rusuh massa dan mengatasinya dengan PHH (pasukan anti huru-hara).
Dalam dunia psikologi, amuk sebenarnya adalah hal yang biasa. Anak kecil pun bisa mengamuk, nangis dan menjerit-jerit sejadi-jadinya atau berguling-guling di lantai. Namanya: temper tantrum. Ibu-ibu juga bisa menangis, menjerit-jerit dan menjambaki rambutnya sendiri dan menyerang orang yang mau mendekatinya. Namanya: hysteria.Semuanya itu terjadi, biasanya kalau orang sudah frustrasi berat: anak minta mainan tidak diberi, atau isteri yang suaminya selingkuh.
Tetapi amuk bukanlah sekedar agresif karena frustrasi. Orang mengamuk bisa karena alasan yang tidak jelas. Bahkan mungkin tanpa alasan sama sekali. Orang yang beberapa menit yang lalu masih baik-baik, ngobrol dengan teman-temannya di warung, bisa tiba-tiba melempari toko, membakar mobil yang liwat, bahkan membakar pencopet yang tertangkap. Padahal dia sama sekali tidak ada urusannya dengan toko atau mobil itu, dan ia pun tidak tahu apakah orang yang dibakarnya itu pencopet beneran atau bukan.
Uniknya, istilah amuck dalam bahasa Inggris justru diadopsi dari bahasa Indonesia (dulu: Melayu). Padahal biasanya bahasa Indonesia-lah yang mengadopsi kata-kata dari bahasa Inggris. Jelas bahwa di mata orang Inggris (mungkin di jamannya Gubernur Jenderal Inggris Raffles) orang Indonesia amat-sangat suka mengamuk.
***
Satu dua tahun terakhir ini, perkiraan orang Inggris bahwa bangsa Indonesia adalah tukang mengamuk sudah terbukti. Kita sebagai bangsa Indonesia, tentu akan heran: "Lho, bagaimana mungkin bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka mengamuk. Kita kan terkenal sebagai bangsa yang ramah-tamah dan berbudaya tinggi". Tetapi kenyataan tetap mengatakan bahwa orang Indonesia tukang ngamuk. Bukan hanya sekarang, tetapi sejak jaman dulu kala. Ingat saja kisah-kisah dan hikayat-hikayat jaman dulu seperti Ken Arok, Ki Ageng Mangir, Hang Tuah dan si Malin Kundang yang isinya penuh dengki dan iri yang diakhiri dengan pembunuhan. Malah ibunya Malin Kundang rela menyumpahi anaknya yang durhaka menjadi batu. Tengok saja catatan sejarah tentang pembantaian orang Cina di Batavia di awal tahun 1900-an, kerusuhan rasial tahun 1963 di Jawa Barat, kerusuhan Jawa Tengah tahun 1980, rentetan amuk massa di Situbondo, Tasikmalaya, dan kota-kota lain di tahun 1996, peristiwa 12-13 Mei di Jakarta, dan kerusuhan-kerusuhan di Ambon dan Maluku Utara 1999 dan di tahun 2000 ini hampir setiap hari ada massa mengamuk di mana saja dan kapan saja. Sasarannya bisa macam-macam, dari lahan perkebunan sampai gedung DPR/DPRD, dari lokalisasi WTS sampai pos-polisi, dari orang terkenal sampai orang tak dikenal. Pokoknya di mana saja, apa saja dan siapa saja. .
***
Sebetulnya, sifat pengamuk, khususnya amuk massa, bukanlah khas Indonesia. Sekarang ini di Fiji, di Siera Leone, di Bosnia, di Palestina dan di banyak tempat lain, orang mengamuk hampir setiap hari. Kalau diurut ke sejarah amuk massa juga terjadi di Rusia ketika massa menjagal Tsar, di Perancis ketika massa memenggal kepala Maria Antoinette, di Beijing pada peristiwa Tien An Mien dan masih banyaaak lagi. Karena itu psikolog Perancis, Gustav Le Bon, yang hidup di akhir abad ke-19 sudah menciptakan teori tentang amuk massa yang konon dikendalikan oleh jiwa kolektif (collective mind) yang bersifat jauh lebih kekanak-kanakan, emosional, tidak memakai akal dan lebih agresif-destruktif ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind).
Tetapi yang luar biasa pada bangsa Indonesia (sehingga istilah Inggris diadopsi dari bahasa Indonesia) adalah bahwa bangsa kita ini terkenal ramah dan baik hati, kok tiba-tiba bisa mengamuk. Lho! Ini kan luar biasa. Bagaimana mungkin?
***
Jawaban pakar dan penggembira (termasuk pers) model sekarang adalah mungkin saja, karena selama 32 tahun kita dikekang tirani! Lho, kok 32 tahun? Padahal istilah amuk sudah ada sejak jauh sebelum era-nya Suharto (lagi-lagi kok Suharto yang disalahkan). Jadi tentunya ada jawaban lain.
Jawaban yang paling pesimistik adalah jawaban yang berdasarkan teorinya Lombrosso: orang yang terlahir jahat, selamanya akan jahat. Bangsa Indonesia dari sono-nya sudah pengamuk (dan pura-pura saja baik hati), sehingga sampai kapanpun akan pengamuk (bahkan ada yang menambahkan dengan bakat-bakat jelek lainnya: pemalas, pemboros, gila hormat dsb.). Bangsa yang seperti ini, tanpa provokator pun akan setiap saat bisa mengamuk, apalagi kalau dikompori oleh provokator.
Jawaban yang lebih realistik dan optimistik adalah jawaban sosiologi, yaitu bahwa bangsa Indonesia masih terlalu banyak kelas bawahnya (kurang berpendidikan, pekerja kasar atau pengangguran, miskin) dan masih terlalu sedikit kelas menengah-atasnya (berpendidikan menengah ke atas, karyawan staf, pemimpin atau manajer, penghasilan jauh di atas UMR). Kelas bawah, kata sosiologi, memang cenderung kurang rasional, lebih emosional dan kurang paham hukum, sementara kelas menengah-atas lebih taat hukum, selain karena mereka lebih berpendidikan dan lebih rasional, merekapun membutuhkan system yang jelas dan keteraturan untuk bisa melaksanakan pekerjaan mereka sehari-hari. Menurut teori ini, jika bangsa Indonesia sudah mempunyai kelas menengah-atas maka dengan sendirinya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang demokratis dan kerusuhan dengan sendirinya akan berkurang. Biar pun banyak provokator, bangsa yang seperti ini tetap akan aman dan stabil.
***
Masalahnya sekarang, untuk mencapai masyarakat yang mempunyai kelas menengah yang cukup banyak (kata Yuwono Sudarsono: minimum 30%), masih diperlukan waktu yang panjang (Amerika Serikat perlu lebih dari 200 tahun, Eropa lebih dari 1000 tahun). Sebelum kita sampai ke situ apa yang harus dilakukan? Kata Ebiet G. Ade: tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Sumber : http://www.himpsi.org
0 Comments:
Post a Comment
<< Home